Rabu, 16 Maret 2011

Revolusi Timur-Tengah : Langkah Menuju Demokratisasi dan Efek Domino


Revolusi Timur-Tengah : Langkah Menuju Demokratisasi dan Efek Domino[1]
Oleh: Awang Munawar[2]

(Dosen HI-FISIP UNPAS Bandung)


Assalamu’alaikum wr.wbb.




Gelombang Perubahan

Dalam filsafat telah lama diterima ajaran tentang satu-satunya hukum tetap yang berlaku dalam kehidupan, adalah ‘tidak adanya ketetapan itu sendiri’. Barangkali tidak ada tempat dimana ajaran ini dapat diterapkan lebih nyata daripada kawasan Timur Tengah. Perubahan sebagai variabel tetap dalam kehidupan kawasan tersebut tampak menonjol, dengan segala manifestasinya dalam semua aspek kehidupan dan segenap akibatnya bagi konstelasi percaturan politik dunia.[3]

Pendapat di atas meski sudah lama dan yang bersangkutan sudah almarhum, tapi bagi saya masih memiliki relevansi dengan fenomena mutakhir yang kini sedang terjadi terutama di kawasan Timur Tengah. Manifestasi yang nyata dari tema revolusi yang sedang berlangsung secara menetap ini dapat dilihat dalam dua kenyataan berikut: “fungsi kawasan Timur Tengah dewasa ini sebagai wadah konflik antara negara-negara besar (dulu superpowers) dari luar kawasannya, dan sebagai wadah konflik ideologis antara negara-negara dan bangsa-bangsa yang mendiaminya di kawasan tersebut.

Konflik antara superpowers tampak sekali peranannya dalam sengketa Arab-Israel yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Pada mulanya, sengketa yang terjadi adalah perbenturan kepentingan antara berbagai pihak, yaitu Inggris, Perancis dan Uni Soviet segera setelah usainya PD II, dan sepuluh tahun kemudian Amerika Serikat mengambil pimpinan dunia Barat (yang untuk kawasan Timur Tengah merupakan dari kegagalan Inggris-Perancis untuk menundukan Gamal Abdel Nasser dalam Perang Suez di tahun 1956).

Campur tangan superpowers dalam sengketa Arab-Israel itu tidak hanya membawa akibat-akibat “praktis-operatif” belaka dan sesa’at, tetapi membawa akibat-akibat yang lebih bersifat fundamental dan terus berkelanjutan bagi kehidupan di kawasan Timur Tengah sampai hari ini.

Di samping konflik antara superpowers dalam memperebutkan hegemoni di kawasan Timur Tengah, perkembangan di kawasan tersebut di ramaikan juga oleh pertentangan ideologis diantara nasionalisme, marxisme dan monarki absolut. Perkembangan ini muncul dan mewarnai perkembangan masa kini, yaitu konfrontasi kesemua ideologi di atas dengan fundamentalisme Islam, baik secara terselubung seperti di Tunisia, Mesir dan Irak, maupun secara terbuka seperti di Iran.

Dari perkembangan ini pun penggandaan akibat (multiplier effects) jelas sekali mempunyai pengaruhnya tersendiri bagi perkembangan keadaan keseluruhan di kawasan tersebut hingga kini, dan ini adalah salah satu unsur utama dari pergolakan/revolusi menetap yang terjadi di sana.

Kini, kita menyaksikan bagaimana perkembangan terakhir dimana badai demonstrasi yang tengah menyapu kawasan tersebut, yakni gejolak/revolusi kekuatan rakyat terus berlanjut di wilayah tersebut setelah tumbangnya kekuasaan otoritarianisme Presiden Ben Ali di Tunisia dan Presiden Mubarak di Mesir, dan kini juga kita sedang menyaksikan tekanan-tekanan rakyat di Libya yang juga ingin melengserkan Moammar Khadafy.

Seperti, seakan-akan terilhami oleh keberhasilan revolusi rakyat di kedua negara itu, kini eskalasi kekuatan massa kian meningkat di sejumlah negara Arab, khususnya di Libya, Yaman, dan Bahrain. Ekspresi gejolak kekuatan rakyat juga muncul getarannya di Aljazair, Maroko, Jordania, dan Kuwait, meski belum terlihat jelas di Arab Saudi, atau Uni Emirat Arab.[4]

Di negara-negara tersebut, unjuk rasa, protes dan tekanan- tekanan politik demokratik sedang berlangsung mendesakkan perubahan. Unjuk rasa di Mesir yang bersamaan dengan perubahan politik di Tunisia beberapa waktu lalu merupakan trigger (pemicu) yang berkelanjutan dari desakan untuk terjadinya perubahan di segala hal sekaligus pergantian kepemimpinan.

Gerakan perlawanan rakyat (people power) di Tunisia yang berhasil secara dramatis menjatuhkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali dan bahkan membuat dia melarikan diri ke Arab Saudi mempunyai resonansi dan reperkusi politik yang sangat besar terhadap Dunia Arab dan Timur Tengah bahkan ke negara-negara yang anti-demokrasi lainnya, seperti Korea Utara ( baca :domino effects).

Sangat meyakinkan revolusi rakyat Tunisia itu akan membawa efek karambol terhadap negara-negara Arab yang sebagian besar masih otoriter atau antidemokrasi, untuk tidak menyatakannya sebagai despotik atau diktatorial.[5]

Menurut Ibnu Burdah[6] ada beberapa tesis yang mungkin bisa menjelaskan mengapa terjadi revolusi di kawasan tersebut. Pertama, salah satu tesis penyebab revolusi adalah kemiskinan. Jika itu yang digunakan menurutnya, negara-negara Teluk petrodollar, seperti Keemiran Kuwait, Keemiran Bahrain, Keemiran Qatar, Uni Emirat Arab, Kerajaan Arab Saudi, dan Kesultanan Oman, akan selamat dari gulungan badai ini. Jumlah penduduk yang kecil dan penghasilan minyak yang besar membuat pendapatan per kapita penduduk negara-negara itu sangat tinggi, bahkan beberapa kali lipat dari pendapatan per kapita rakyat Tunisia dan Mesir.

Yang kedua, masih menurut Burdah, revolusi juga bisa lahir karena represi yang begitu kuat dari rezim despotik terhadap kebebasan warganya. Kalau begitu, enam negara itu justru paling potensial menghadapi masalah serius. Oman telah terindikasi terjangkit virus revolusi itu. Juga Bahrain. Padahal, negeri itu dipandang sebagai kerajaan paling mapan dan stabil di Teluk Persia. Kecemasan luar biasa yang ditunjukkan para penguasa Kerajaan Arab Saudi juga mencerminkan gejala yang sama. Ini juga berarti negara-negara Arab barat (maghrib), seperti Libya, Aljazair, dan Mauritania, merupakan negara yang paling rawan menjadi tempat pecahnya revolusi pasca-Tunisia dan Mesir. Bahkan rezim Raja Muhammad VI di Maroko, yang dikenal sangat berwibawa, juga tidak lepas dari ancaman ini.

Menurut Burdah, Libya barangkali di urutan terdepan. Rezim Moammar Khadafy berkuasa sejak 1969, jauh lebih lama daripada Mubarak dan Ben Ali. Posisi geografis dan kultural negeri ini juga berada di dekat baik Mesir maupun Tunisia. Rezim ini sekalipun keras, tapi dikenal lemah, baik dalam konsolidasi dalam negeri, kerja sama kawasan, maupun pergaulan internasional.

Faktor penting lain adalah keangkuhan sang penguasa, hal ini menunjuk pada Moammar Khadafy, serta dukungannya terhadap Ben Ali dan Mubarak untuk tidak mengikuti tuntutan rakyatnya. Hal itu bisa memancing semangat rakyatnya untuk melakukan hal yang serupa dengan di Mesir dan Tunisia.

Mauritania dan Aljazair jelas sedang terjangkit virus revolusi ini. Aksi membakar diri sebagai protes atas kondisi ekonomi sudah terjadi dan secara terbatas telah menyulut protes jalanan di dua negeri itu hingga saat ini.

Sementara itu, menurut Azyumardi Azra,[7] dengan banyak mensitir pandangan dari kalangan dunia muslim yang beranggapan bahwa, gejolak kekuatan rakyat di dunia Arab sekarang ini merupakan rekayasa pihak asing, khususnya Amerika Serikat (AS). Argumen ini menurut Azra, bisa diperdebatkan. Namun jelas, rezim-rezim otoriter yang kini menghadapi tantangan kekuatan rakyat adalah para sekutu AS. Karena itu, pada dasarnya AS berkepentingan memelihara status quo rezim-rezim tersebut. Namun, berlawanan dengan keinginan AS tersebut, kekuatan rakyat membuat AS berada dalam posisi sulit dan akhirnya terpaksa menerima perubahan rezim seperti terlihat dalam kasus Tunisia dan Mesir.

Sungguh dramatis! Kejatuhan pemimpin tangan besi yang berkuasa sangat lama, Zine al-Abidine Ben Ali, malah memicu kecemasan dibandingkan antusiasme para pemimpin dunia.[8]

Menurut M Steven Fish,[9] jatuhnya tirani di Tunisia mungkin tidak secara otomatis mengarah pada fase demokrasi, tetapi rakyat Tunisia memiliki kesempatan dan menyediakan ruang pertaruhan bagi kemungkinan proses demokrasi dan keamanan global dibandingkan apa yang telah dilakukan oleh para diktator pro-Barat. Menurutnya, di ufuk drama politik yang terhampar di Tunisia dan negara- negara tetangganya, dunia memiliki harapan yang lebih baik dibandingkan skenario ketakutan (baca: kecemasan Barat).

Seperti kita ketahui bersama, Dunia Arab, bagian terpenting dari apa yang disebut sebagai Dunia Islam, kecuali mungkin Lebanon dan Irak, bukanlah negara-negara demokrasi. Itulah sebabnya mengapa kalangan sarjana Barat, yang dari sananya berpandangan stereotipikal, selalu memandang bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Kalau tidak diselamatkan oleh kasus demokratisasi yang gemilang di Indonesia dan Turki, pandangan stereotipikal negatif itu pastilah akan memperoleh justifikasi yang sangat ampuh.[10]

Masih menurut Hariyanto, proses demokratisasi sebenarnya bukannya tidak berjalan di Dunia Arab. Namun, perjalanannya sedemikian lamban dan panjang. Beberapa negara Arab, baik yang berbentuk kerajaan maupun republik, memang mulai menyelenggarakan pemilihan umum secara terbatas dan memiliki parlemen. Kebebasan mulai dibuka secara perlahan. Akan tetapi, dari sudut pandang demokrasi yang universal masih sedemikian limitatifnya sehingga belum bisa dikatakan sebagai telah cukup demokratis.

Dalam konteks ini, revolusi rakyat Tunisia 2011 ini, termasuk Mesir niscaya membawa angin segar bagi demokrasi Dunia Arab, dan membawa pengaruh positif bagi gerakan-gerakan demokrasi di dunia Arab lainnya yang membentang dari Maroko di barat sampai Irak di timur.

Meski revolusi Tunisia dikotori oleh tindak penjarahan yang menodai demokrasi. Tak heran jika noda tersebut kemudian dijadikan dalih oleh para pemimpin otoriter di negara-negara Arab untuk menunjukkan kepada rakyatnya ada apa dengan demokrasi. Dalam hal ini penting dipertanyakan juga pada mereka, ”apakah kita mau demokrasi yang rusuh dan kaotis ?.

Bagaimanapun ada kekurangan dalam demokratisasi tersebut, kita berharap revolusi Tunisia atau Mesir termasuk kini yang terjadi di Libya menjadi bahan pelajaran bagi para pemimpin negara-negara Arab. Pilihan bagi mereka bukanlah demokrasi atau tidak, melainkan proses demokratisasi seperti apa yang harus segera mulai dilakukan. Apakah harus menunggu meledaknya sebuah revolusi yang berindikasi pada kerusuhan dan kaotis atau memilih jalan sadar dan sistematis untuk memulai proses demokrasi secara sengaja. Apa pun pilihannya, hendaknya mereka mewaspadai ongkos sosial dan politik yang harus dibayar dan kelewat mahal manakala cara revolusi ditempuh.

Menarik untuk disimak cerita Fareed Zakaria dalam bukunya, The Future of Freedom (2003), yang menceritakan sebuah anekdot demokrasi di Mesir. Suatu ketika seorang diplomat Amerika Serikat diterima bertemu Presiden Hosni Mubarak di istana Heliopolis yang megah. Kedua tokoh politik itu berbicara dengan akrab dan nyaman tentang kehangatan hubungan kedua negara, permasalahan regional, dan proses perdamaian Israel-Palestina.

Selanjutnya, diplomat Amerika Serikat perlahan-lahan mengangkat permasalahan hak asasi manusia (HAM) dan menyarankan agar Presiden Mubarak memberi kelonggaran-kelonggaran terhadap oposisi politik dalam rangka demokrasi dan kebebasan pers serta berhenti memenjarakan para intelektual dan aktivis demokrasi.

Presiden Mubarak menjadi tegang dan marah. Sembari menggebrak meja keras-keras, ia meradang, " Jika saya melakukan apa yang Anda minta itu, fundamentalisme Islam akan mengambil alih Mesir. Inikah yang Anda inginkan?” Diplomat Amerika Serikat itu kecut dan mengajak kembali ke pembicaraan semula yang penuh basa-basi itu.

Dari cerita anekdot demokrasi tersebut di atas, kita perlu merenung dan memaknai apa itu demokrasi yang sesungguhnya ?


Transisi Politik Demokrasi Mesir : Sebuah Refleksi dan Akseptasi

Presiden Husni Mubarak termasuk salah satu pemimpin pemerintahan terlama di Timur Tengah disamping Saddam Hussein, Muammar Khadafy dan Hafez Assad, kini ia sulit mengelak dari tekanan-tekanan rakyat yang menginginkan pembangunan politik demokratis menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat tersebut.

Unjuk rasa, protes dan tekanan-tekanan politik secara umum dipicu oleh pengangguran, kemiskinan atau kondisi ekonomi yang memprihatinkan, disamping sistem politik yang despotik (kekuasaan tanpa batas, kuku besi dan lalim), serta bisa saja muncul dari pandangan bahwa karena intervensi asing (AS atau dunia Barat).

Kejadian-kejadian amat penting di kawasan Timur Tengah dan Afrika serta dunia Arab baru-baru ini menunjukkan status quo tidak bisa langgeng, dan perlu ada prakarsa dan keberanian dalam upaya perubahan-perubahan signifikan dan kalau perlu ke seluruh kawasan dimana terdapat pemimpin despotik tersebut.

Belasan ribu pengunjuk rasa terus membanjiri Lapangan Tahrir (atau pembebasan) di Mesir, selama dua minggu berturut-turut dan membentuk demonstrasi besar-besaran untuk menuntut mundurnya Presiden Hosni Mubarak. Meski secara umum, unjuk rasa ini berlangsung damai, kekerasan tetap mewarnai demonstrasi yang terjadi. Para pengunjuk rasa pro-pemerintah – yang kabarnya sengaja dikerahkan oleh negara – telah melemparkan batu dan bom molotov, dan menggunakan pentungan untuk memukul para wartawan dan aktivis pro-demokrasi di Lapangan Tahrir.

Revolusi di Mesir telah menyatukan banyak orang: warga mencoba mencari jalan untuk menyediakan uluran tangan bagi lingkungan sekitar, orang-orang dari agama berbeda berbaris bersama-sama, dan para aktivis internasional menggemakan suara rakyat Mesir.

Meskipun masa depan Mesir belum menentu, cerita-cerita ini menunjukkan bahwa ada potensi untuk membangun negara yang lebih kuat dari bawah, dengan pilar demokrasi.

Walau ada kekacauan di jalan-jalan, warga Kairo dan kota lain telah membentuk kelompok-kelompok untuk menjaga ketersediaan listrik, air dan gas. Posko-posko lingkungan juga telah bermunculan di tengah ketidakhadiran polisi untuk mengamankan tempat tinggal dan tempat usaha mereka dari penjarah.

Khalid Toufik, seorang anggota posko di Alexandria, mengatakan dalam sebuah tulisan di New York Times, “Kami ingin menunjukkan pada dunia bahwa kami bisa menjaga negara kami, dan kami tengah melakukannya tanpa bantuan pemerintah ataupun polisi.”

Di Lapangan Tahrir, kerumunan orang bersorak, “Muslim, Kristen, kita semua orang Mesir!” Kaos-kaos yang bertuliskan berbagai slogan unjuk rasa juga menampakkan bulan sabit dan salib sebagai simbol persatuan. Bahkan ada berita-berita tentang orang-orang Kristen yang membentuk pagar manusia untuk melindungi Muslim yang tengah melaksanakan salat.

Perempuan pun ikut berunjuk rasa bersama laki-laki, anak-anak muda bersama orang-orang tua. Rakyat Mesir ingin memperlihatkan bahwa koeksistensi agama, suku dan simbol-simbol pluralisme bukan sekadar angan-angan semu, tapi telah kerap menjadi kenyataan sehari-hari.

Di tingkat internasional, berbagai orang, kelompok, maupun perusahaan telah menemukan cara untuk menunjukkan solidaritas dan membawa suara rakyat Mesir ke seluruh dunia. Google dan Twitter bersama-sama menciptakan Speak2Tweet selama diblokirnya akses internet. Aplikasi ini memungkinkan orang Mesir menelepon salah satu dari tiga nomor telepon yang disediakan untuk merekam sebuah pesan, yang kemudian dapat di-“tweet” oleh akun Speak2Tweet yang bisa dilihat di seluruh dunia, dan diterjemahkan di situs lain, Alive in Egypt.[11]

Perangkat-perangkat seperti ini telah membantu orang di berbagai tempat nan jauh untuk memberi sumbangan pada perjuangan dan kenyataan sehari-hari rakyat Mesir, selain juga memberikan kabar dari lapangan secara langsung.

Memang, Mesir memiliki karakteristik berbeda apabila dibanding dengan negara lainnya di kawasan, termasuk dengan Indonesia pada tahun 1998. Sejak 1981 ketika Mubarak menggantikan Presiden Anwar Sadat yang dibunuh salah seorang tentaranya, sama sekali tidak ada perubahan politik signifikan. Namun umur Mubarak yang sudah lebih dari 80 tahun tidak bisa dipertahankan lagi. Kini apabila terjadi perubahan akan berpengaruh signifikan terhadap kawasan tersebut. Gemanya jauh lebih besar dari Tunisia yang berpenduduk hampir 80 juta. Mesir dengan jumlah penduduk terbesar di Timur Tengah serta kekuatan politik yang besar di kawasan maka perubahan di Mesir menjadi perhatian tidak hanya tetangganya tetapi juga dunia.

Kita tahu bahwa, sudah 30 tahun ini rakyat Mesir hanya menyaksikan satu presiden, satu foto di perkantoran tanpa adanya perubahan. Kekuasaan eksekutif dikendalikan sampai sedetilnya oleh rejim Mubarak sehingga stabilitas relatif jalan. Dan tingkat tertentu ekonomi bisa memberikan ketenangan, namun situasi dunia sudah berubah. Tekanan krisis finansial di Barat berimbas terhadap harga-harga di dalam negeri yang tidak bisa ditenangkan oleh hanya retorika.

Sementara itu pemerintahan sedang hamil tua yang menunggu regenerasi sejati bukan sebuah peralihan kekuasaan dari ayah kepada anak atau kepada kelompok nepotisme yang menyelamatkan rejim lebih lama dengan mengorbankan demokrasi dan kemakmuran.

Transisi tidak akan mudah karena sebagai orang kuat Mubarak tidak bisa ditiru begitu saja oleh anaknya. Mubarak memiliki pengalaman politik yang sangat luas untuk menekan oposisi sekuat mungkin dan bila perlu dengan kekerasan. Segala instrumen hukum dan politik juga dikerahkan dengan tujuan melanggengkan kekuasaan dirinya dan memberangus semua kekuatan oposisi baik dari kubu sekuler maupun Islam.

Presiden baru yang lemah akan memperumit situasi Mesir karena tekanan dari dalam dan luar semakin besar. Dari dalam negeri tuntutan perbaikan situasi politik dan ekonomi akan sulit dipenuhi presiden baru manakala kotak pandora kebebasan berekspresi – seperti sekarang.

Bagaimanapun besarnya dukungan Mubarak namun ketika tampuk kekuasaan bisa sepenuhnya ditranfer ke anaknya, tidak mudah diambil lagi. Diperlukan beberapa tahun untuk benar-benar pemerintahan baru efektif padahal kondisi masyarakat yang semakin terbuka akan sulit menunggu angin segar demokrasi dimana kalangan tertekan bisa menjadi alternatif. Atau setidaknya mereka yang menjadi tokoh dan intelektual bisa tampil melakukan reformasi.

Apalagi sekarang muncul tokoh seperti Mohamad El Baradei sebagai alternatif dari Mubarak. Baradei sudah memberikan sinyal melakukan oposisi terhadap Mubarak sejak tidak lagi menjadi kepala badan energi atom internasional (IAEA) dan dipandang calon alternatif. Selain itu ada tokoh dan partai lain seperti Ikhwanul Muslimin yang meski ditekan masih tetap hidup di dalam infrastruktur masyarakat.[12]

Dari uraian di atas, bagaimana kita reflesi ke 1998 serta berproyeksi ke depan, tentu kejadian ini harus jadi pelajaran.

Peran Cyberworld dalam revolusi di Timur Tengah[13]

Selanjutnya, tidak dapat dibantah lagi bahwa twitter dan facebook menjadi alat hubung yang menyatukan hati dan kemauan banyak orang di Tunisia dan Mesir, termasuk di luar kawasan tersebut. Jaringan internet dan telepon genggam memainkan peran penting dalam revolusi damai sejak 25 Januari dan berakhir 11 Februari 2011.

Inilah yang memberikan semangat dalam satu hati menuju perubahan di Mesir. Sesudah 32 tahun di bawah bayangan Husni Mubarak dan tidak ada wajah dan masa depan selain bersama Husni Mubarak, rakyat Mesir setidaknya kaum muda yang melek mulai merasa akan adanya perubahan itu kuat. Teknologi dan melek twitter dan facebook menginginkan perubahan yang lebih bermakna dalam demokrasi.

Demokrasi Mesir yang sifatnya semu dan khayalan itu kemudian karena kemauan sekelompok anak muda yang semula mendorong perbaikan nasib para pekerja pabrik pada Januari 2010 di sebuah daerah di luar Cairo, kemudian berubah menjadi gerakan nasional menuju perubahan nasib.

Perubahan dan reformasi, itulah kata kunci yang bergulir sehingga kemudian Mubarak terguling. Mubarak yang perkasa dan berpengalaman dan menjadi diktator militer selama 32 tahun akhirnya terjungkal. Mubarak yang tidak sadar bahwa umur tidak bisa dihentikan tetapi perubahan terus berjalan. Akhirnya dia ditelan oleh impian dan ilusinya sendiri.

Mesir yang 32 tahun dan bahkan lebih lama lagi hidup dalam keadaan darurat perang sungguh mengenaskan. Di abad ke-21 ini masih ada yang mempertahankan keadaan darurat perang padahal tembok itu sudah bisa ditembus oleh jaringan internet yang tidak hanya di cafe tetapi sudah berada di genggaman tangan.

Ponsel cerdas berubah menjadi alat perubahan dan musuh bagi para diktator. Musuh penguasa yang bersembunyi di balik stabilitas untuk melestarikan priviligenya. Inilah yang kemudian runtuh oleh palu godam komunikasi bahkan ujung tombaknya adalah facebook dan twitter.

Masihkah militer Mesir mengabaikan fakta bahwa ancaman itu tidak datang dari apa yang disebut kubu oposisi terkuat Ihkwanul Muslimin saja. Lebih lagi adalah kaum muda yang haus akan keadilan dan demokrasi sehingga mereka hidup dalam alam nyata bukan dalam kungkungan diktator atau rejim militer.

Dapat dikatakan bahwa dunia cyber inilah yang meluluhlantakkan setidaknya dua diktator di Timur Tengah, Presiden Ben Ali dan Presiden Husni Mubarak. Keduanya berjasa bagi negaranya tetapi menolak mengadakan perubahan. Maka karena menolak perubahan, keduanya digilas oleh revolusi komunikasi yang menjadi tulang punggung bahkan bisnis dan kehidupan modern.

Maka jika militer masih berusaha menggunakan hukum besi untuk menolak kehadiran demokrasi maya kaum muda, maka dia pun akan tergilas menjadi lembaga pelindung yang tidak relevan lagi. Sudah saatnya bahwa kekuatan demokrasi ini tidak hanya di dalam maya tetapi sudah sampai alam nyata.
Itulah impian kaum muda di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan bahkan Bahrain yang notabene sudah maju dibandingkan negara Arab lainnya.

Berikutnya yang perlu dicermati adalah perubahan yang mungkin terjadi di Arab Saudi. Meski Raja masih sakral dan keluarga kerajaan memiliki kekuatan luar biasa namun jika sekelilingnya sudah membuka diri terhadap revolusi damai demokrasi maya ini maka mau tidak mau tinggal menunggu saja, ikut membuka keran informasi atau tetap hidup dalam penjara maya seperti juga dialami di Cina. Saya yakin efek domino akan menemuinya, karena aspek bordenless world.

Seandainya saja era cyberworld masuk ke Indonesia pada tahun 1998, mungkin derajat kekerasan dapat diminimalisir.
Wassalam wr.wbb.


[1] Judul makalah dari Panitia Seminar HIMHI Fisip Unpas, diseminarkan tgl 16 Maret 2011.
[2] Awang Munawar, Dosen HI Fisip Unpas Bandung
[3] Abdurrachman Wahid (Gus Dur), “Timur Tengah: Panorama Pergolakan Tak Kunjung Berhenti” dalam Prisma No. Ekstra. 1978.
[4] Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat International IDEA Stockholm, artikelnya di Komapas, 25 Pebruari 2011 berjudul “Anatomi Krisis Libya, Yaman, Bahrain”.
[5] Hajriyanto Y Thohari, Sarjana Studi Asia Barat/Arab UGM dan Pascasarjana Antropologi UI, dalam artikelnya di Kompas, 26 Januari 2011 berjudul “Tunisia, Dunia Arab dan Demokrasi”.
[6] Ibnu Burdah, adalah pemerhati Persoalan Timur Tengah dan Dunia Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam artikelnya di Kompas, 17 Pebruari 2011 berjudul “ Survival Rezim di Arab”.
[7] Azyumardi Azra, dalam ibid, baca juga Azra dalam artikel Kompas, 1 Pebruari 2011 dengan judul “Krisis Mesir: Militer vs Sipil ?
[8] M Steven Fish Profesor Ilmu Politik di Universitas California-Berkeley dan Penulis Are Muslim Distinctive? A Look at the Evidence (Oxford University Press, 2011. Lihat juga tulisan artikelnya di Kompas,1 Pebruari 2011 dengan judul “Kaum Muslim, Tunisia, dan Paradoks Demokrasi”.
[9] M. Steven Fish, dalam Ibid
[10] Hajriyanto Y Thohari, dalam ibid,
[11] Laurna Strikwerda ialah koordinator program dialog Muslim-Barat di organisasi transformasi konflik Search for Common Ground.
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 11 Februari 2011,www.commongroundnews.org
[12] Simak pernyataan dari Amr Hamzawy dari Carnegie Middle East Center menyatakan bahwa terlalu dini memperkirakan akan adanya perubahan politik. Keraguan itu antara lain mereka yang turun ke jalan adalah kalangan muda yang mengorganisasikan diri tetapi tidak tersambung dengan partai atau kelompok oposisi. Sementara itu, Steven Cook dari Council on Foreign Relations memperkirakan adanya dua skenario dari rentetan gejolak politik yang menuju puncaknya di Mesir. Pertama, mandat kepresidenan mungkin saja berhasil diserahkan ke Jamal namun kemungkinan dia tidak mampu memikul kekuasaan yang dilama dipegang ayahnya. Skenario kedua jika gejolak ini terus berlanjut adalah kemungkinan militer akan melakukan pengambilalihan kekuasaan jika transisi kepada Jamal atau pemimpin politik lain yang pro Mubarak gagal menenangkan rakyat.
[13] Disarikan dan diolah dari berbagai ulasan Kantor Berita Common Ground (CGNews), 11 Maret 2011.

Selasa, 13 April 2010

Terjerumusnya Negara-Negara Berkembang ke dalam Utang Luar Negeri: Kajian Pembelajaran untuk Masa Depan Ekonomi Timor Leste

By Cana Valencia

Pemerintah Timor-Leste sekarang tengah menempuh berbagai cara untuk memperolah utang dari beberapa sumber; Portugal, Cina, dan Institusi Keuangan Internasional seperti Bank Dunia dan IMF adalah sumber-sumber yang termasuk di dalamnya. Hal menyedihkan adalah, hingga sekarang, alasan fundamental yang melandasi rencana ini belum mengemuka ke ruang publik. Hal ini menyulitkan kita untuk memprediksi apa yang akan terjadi pada generasi mendatang. Namun yang jelas adalah bahwa pinjaman ini akan digunakan untuk merealisasi ambisi para pemimpin Timor-Leste, seperti membangun jalan tol, pelabuhan, gedung mewah, dan sarana infrastruktur lain. Mengingat bahwa keputusan ini adalah keputusan yang sangat krusial bagi masa depan Negara ini, melalui artikel ini, penulis ingin mengkaji persoalan utang luar negeri dalam konteks global. Kiranya artikel ini akan menjadi sebuah informasi tambahan bagi kalangan masyarakat sipil di Timor-Leste untuk memahami dampak yang ditimbulkan dari pinjaman luar negeri; dan dalam konteks yang lebih luas, untuk membantu kita membuat keputusan berdasarkan informasi dari berbagai sudut pandang.

Latar Belakang Global

Pinjaman luar negeri, atau utang luar negeri adalah salah satu hantu bagi pembangunan ekonomi negara dunia ketiga pada sa’at ini. Beberapa referensi yang mengkaji mengenai pembangunan di negara-negara berkembang mulai melihat persoalan pinjaman luar negeri sebagai salah satu pusat penyebab keterbelakangan negara-negara dunia ketiga. Beberapa persoalan yang timbul dari utang luar negeri adalah memperlebar jurang antara negara-negara miskin di bagian selatan dan negara-negara kaya di bagian utara; memiskinkan penduduk di negara-negara dunia ketiga; dan sering pula dilihat sebagai sebuah bentuk penjajahan baru. Menurut perhitungan IMF, pada tahun 2006, utang luar negeri dari 146 negara selatan melampaui 2.207 milliar USD dan uang yang harus mereka bayarkan adalah 495.3 milliar USD. Jumlah ini diakui sendiri oleh IMF bahwa angka ini melampaui kemampuan negara-negara di atas untuk membayar, mengingat nilai di atas sama dengan 80% dari seluruh export barang dan jasa dari negara-negara di atas.

Data yang ditunjukkan oleh organisasi masyarakat sipil lebih menyedihkan lagi. Menurut data dari Jubilee Debt Campaign, sebuah jaringan yang melakukan advokasi untuk menghapus utang luar negeri negara-negara berkembang, pada tahun 2006, total utang luar negeri negara-negara berkembang adalah 2.9 triliun USD, dan pada tahun yang sama mereka membayar 573 miliar USD. Sementara negara-negara paling miskin di dunia, pada tahun yang sama membayar 34 miliar USD kepada negara-negara kaya; artinya negara-negara miskin membayar 94 juta USD setiap harinya kepada negara-negara kaya. Perhitungan lain menunjukkan bahwa negara-negara berkembang membayar $.13 USD untuk membayar kembali $.1 USD; dan sekitar 60 negara termiskin telah membayar 550 miliar USD untuk pinjaman pokok dan bunganya, selama 30 tahun terakhir, namun masih berutang 523 milliar USD.
Contoh lain dari betapa pedihnya utang luar negeri adalah kawasan Sub-Sahara Afrika. Menurut Noreena Hertz, penulis buku “The Debt Threat: How Debt is Destroying the World,” setiap harinya rakyat di kawasan yang terkenal dengan kemiskinan ini membayar 30 juta USD; pada saat yang bersamaan 26 juta penduduknya terinfeksi penyakit HIV-AID, setiap 10 tahun, dan 40 juta anak kehilangan orang tuanya karena HIV-AIDS.

Angka-angka di atas merupakan manifestasi dari sistem ketidakadilan global yang sekarang sedang berlaku di dunia, dimana utang luar negeri adalah salah satu bagian terpenting darinya. Adalah sebuah keprihatinan ketika melihat bahwa di negara-negara yang memiliki utang besar, negara tidak mampu memberikan pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lainnya; pada saat yang bersamaan uang yang mengalir ke luar negeri mencapai ratusan juta dollar setiap tahunnya. Meskipun rakyat yang menanggung beban untuk membayar utang luar negeri seperti di atas, tetapi bukanlah mereka yang mengambil keputusan. Kabanyakan dari utang yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional, dan negara-negara Barat, masuk ke kantong para diktator serta kroni-kroninya; seperti Soeharto di Indonesia, Ferdinand Marcos di Filippina, regime apartheid di Afrika Selatan, Agusto Pinochet di Chille dan lainya.
Dengan realitas tersebut, berbagai kalangan akademisi, wartawan dan aktivis internasional melihat utang luar negeri sebagai sebuah bentuk penjajahan baru; diimana utang luar negeri telah memfasilitasi aliran sumber kekayaan dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya. Wartawan dokumenter ternama, John Pilger, bahkan menyebut utang luar negeri sebagai sebuah bentuk lain dari perang (War by other Means), dimana perang yang tidak terlihat di layar televisi atau berita, perang yang terdiam dan tersembuny, tidak menggunakan senjata dan peluru, tidak ada okupasi militer; tetapi telah membunuh jutaan anak dan orang miskin di seluruh dunia dalam hitungan harinya.

Bagaimana Krisis ini Muncul?
Sejarah munculnya krisis utang luar negeri adalah baru; setidaknya setelah Perang Dunia Kedua. Pasca Perang Dunia Kedua, para pemerintah di negara-negara utara, bank-bank swasta serta lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF memberikan pinjaman utang kepada negara-negara dunia ketiga (Amerika Selatan, Afrika dan Asia) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur maha besar seperti jalan tol, bendungan, gedung-gedung mewah, pelabuhan, dan lainnya. Mayoritas negara-negara dunia ketiga pada waktu itu juga berambisi untuk mentranformasi status masyarakat mereka; dari masyarakat agrarian ke masyarakat industrialis; menciptakan lapangan kerja bagi rakyat; membangun infrastruktur seperti jalan raya, lapangan terbang, pelabuhan, bendungan, etc; menyediakan pelayanan kesehatan, pendidikan dan air bersih; serta mimpi nan indah lainnya. Untuk merealisasi mimpi-mimpin tersebut, negara-negara yang baru merdeka pada saat itu berpaling kepada Bank-Bank Swasta dan negara-negara barat untuk mendapatkan pinjaman luar negeri, dengan harapan bahwa hasil penjualan sumber daya alam mereka nantinya, akan digunakan untuk membayar kembali utang tersebut.

Kemudian mulai tahun 1970-an, Bank-Bank swasta di Eropa Barat dan Amerika Utara juga mulai meningkatkan partisipasi mereka dalam hal pinjaman luar negeri secara drastis. Alasan utama bank-bank swasta ini untuk meningkatan keterlibatan mereka adalah mereka melihat bahwa memberikan pinjaman adalah salah satu cara untuk menginvestasikan uang mereka dalam bentuk “Eurodollar.” Antara tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, jumlah uang di bank-bank swasta meningkat sebelas kali lipat; dari 10 milliar USD sampai sampai 110 milliar USD. Untuk negara-negara Amerika Selatan saja, antara tahun 1950-an hingga 1970, mereka menerima sekitar 20 milliar USD dalam bentuk utang luar negeri.
Ketika terjadi krisis minyak global pada tahun 1973, Negara-negara penghasil atau pengekspor minyak menerima uang dalam jumlah yang besar dari hasil penjualan minyak mereka. Di sisi lain, negara-negara pengimpor minyak menghadapi defisit dalam anggaran mereka karena melonjaknya harga minyak yang berdampak pada pelonjakan harga bahan-bahan sembako. Situasi ini sangat menguntungkan para bank-bank swasta di Amerika Utara dan Eropa Barat. Karena di satu sisi, negara-negara pengimpor minyak membutuhkan pinjaman untuk menutup defisit anggaran mereka; di sisi lain, negara-negara penghasil atau pengekspor minyak yang pendapatannya meningkat drastis, sebagian dari pendapatan mereka ditabung di Bank-Bank swasta di Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Demi meningkatkan keuntungan mereka, bank-bank ini kemudian menurunkan tingkat bunga mereka dan memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang. Yang menarik adalah bank-bank ini memberikan pinjaman agar negara-negara berkembang dapat membeli bahan-bahan dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Salah satu contohnya adalah pada tahun 1970-an, 42% dari bahan konstruksi Inggris dan 32% dari industria textile Inggris dipasarkan di negara-negara berkembang. Contoh lain adalah Bank Expor-Impor Amerika, memberikan pinjaman kepada negara-negara Amerika Selatan agar mereka memberikan pesawat dari Amerika Serikat, untuk mempromosikan ekonomi yang berorientasi ekspor. Bagi bank-bank swasta Amerika, alasan ekonomisnya jelas: memperluas pasar dan peningkatan keuntungan, karena terjadinya perubahan terhadap pasar domestik di Amerika Serikat. Selain alasan ekonomis, pinjaman luar negeri juga digunakan untuk sebagai salah satu strategi untuk menghambat meluasnya pengaruh komunis; melalui apa yang disebut dengan Containment Policy. Secara global kebanyakan negara yang mendapat pinjaman dari Amerika Serikat adalah diktator, yang juga merupakan boneka-boneka Washington, sehingga para kreditor percaya bahwa para negara penerima utang akan menggunakan kembali uang tersebut untuk membeli peralatan militer dari Amerika Serikat.

Dua negara yang menarik untuk dilihat adalah Indonesia dan Meksiko. Indonesia, salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, juga tidak terlepas dari jerat utang luar negeri. Ketika Soekarno digulingkan oleh Soeharto pada tahun 1965, negara-negara barat langsung bereaksi dengan memberikan bantuan dalam bentuk “Aid” untuk membantu pemulihan ekonomi. Kemudian diikuti dengan 534 juta dollar dalam bentuk utang, dengan rencana bahwa akan dibayar bersama bunganya setahun kemudian. Sebuah perhitungan yang tidak dapat terealisasikan. Yang terjadi, utang Indonesia, justru meningkat terus dari tahun ke tahun. Misalnya pada tahun 1970, utang luar negeri Indonesia adalah 3.7 miliar USD, dan pada tahun 2002, utang luar negeri US melonjak sampai 78.9 milliar USD.

Selain Indonesia, salah satu negara yang menarik untuk dilihat dalam kaitannya dengan kasus Timor-Leste adalah Meksiko. Antara tahun 1977 hingga 1979, Meksiko berutang 88 Milliar USD. Dari angka di atas hanya 14.3 milliar USD atau 16.25% yang digunakan di dalam negeri; sementara 73.7 milliar USD atau 83.75% digunakan untuk membeli bahan dari negara lain. Karena Mexico adalah negara yang kaya akan minyak, ketika terjadi krisis minyak global, negara ini tidak mengeluarkan banyak uang untuk mengimpor minyak. Namun tujuan utama untuk meminjam adalah untuk mengembangkan industry minyaknya, dengan sebuah perhitungan bahwa meningkatnya harga minyak akan memberikannya pendapatan yang banyak untuk membayar kembali utang. Sebuah perhitungan yang kemudian ikut membawa Mexico ke dalam krisis utang; karena pada tahun 1980-an harga minyak global jatuh di pasar internasional.

Pada tahun 1979, terjadi perubahan kebijakan finansial di Washington, dimana Paul Volcker, kepada Federal Reserve menaikkan tingkat bunga untuk mengatasi inflasi di U.S. Meskipun diakui bahwa Ia tidak berniat untuk membawa negara-negara peminjam ke dalam krisis utang, tetapi keputusan ini membawa malapetaka bagi negara-negara peminjam. Bunga utang Meksiko naik tiga kali lipat, dari 2.3 milliar USD menjadi 6.1 milliar USD. Menurut para ekonom, negara-negara Amerika Selatan membayar 100 milliar USD lebih banyak antara tahun 1976 hingga 1985, untuk bunganya saja, sebagai konsekuensi dari keputusan ini. Dampak lain dari kebijakan Washington adalah jatuhnya bahan-bahan komoditas di pasaran pada tahun 1980-an. Sebagai contohnya, harga daging sapi dari Argentina jatuh dari 2.25/kg pada tahun 1980 ke 1.60 pada akhir 1981; harga gula dari Brazil dan negara-negara Karibian jatih dari 79 cent/kg ke 27 cent/kg pada tahun 1982. Jatuhnya harga barang-barang eksport ini menurunkan daya negara-negara peminjam untuk membayar utang. Fenomena yang serupa juga dirasakan oleh negara-negara Afrika, dimana bahan-bahan eksport utama mereka anjlok di pasaran internasional; situasi yang membuat mereka mustahil untuk mengembalikan utang.

Dengan keadaan global tersebut, negara-negara dunia ketiga kemudian terjerumus ke dalam sebuah krisis utang yang terus berlanjut hingga sekarang, dan terus menguras negara-negara dunia ketiga. Diawali dengan Mexico; negara yang juga kaya akan minyak, pada awalnya mengimpikan bahwa hasil expor minyaknya akan dapat digunakan untuk membayar kembali utangnya, pada tahun 1982, menyatakan menyerah dan tidak dapat membayar kembali utangnya; kemudian menyerat ke negara-negara berkembang lainnya.

Terjerumusnya Negara-negara Berkembang

Sebagai reaksi terhadap krisis ini, pada tahun 1985, Secretary of the Treasury Amerika Serikat, James Baker menginisiasi sebuah kebijakan baru, yaitu Structural Adjustment Program (SAP). Kebijakan ini berbasiskan apa yang disebut dengan Washington Consensus. Berdasarkan kebijkana baru ini, Negara-negara yang ingin mendapatkan utang dari IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen untuk melakukan re-strukturisasi atau perubahan dalam kebijakan ekonomi makro mereka, yang berarah pada ekonomi yang berorientasi ekspor (export-led growth), mengurangi peranan Negara dalam ekonomi, dan privatisasi sector-sektor publik. Kepercayaan yang melandasi kebijakan ini adalah bahwa “peranan Negara dalam ekonomi harus dikurangi, dan keterbukaan ekonomi untuk dunia luar adalah komponen penting dari konsensus neo-liberal; pemerintah harus mengurangi atau menghapus semua aturan, privatasisi terhadap perusahaan-perusahaan Negara atau publik dan beralih dari Industrialisasi Subtitusi Impor menuju ke strategi yang berorientasi kepada ekspor.” Dalam konteks yang lebih luas, mengharuskan Pemerintah Negara-negara yang memperoleh utang untuk mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mengontrol inflasi; melakukan liberalisasi terhadap impor dan menghapus semua hambatan-hambatan bagi investasi asing; privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Negara; mengurangi nilai mata uang dan mengurangi atau menghapus semua peraturan yang melindungi buruh lokal.

Selain itu, peranan IMF dan Bank Dunia ditingkatkan dalam manajemen utang luar negeri, dengan menjadi agen penting dalam pembangunan; dan juga memformulasikan kebijakan ekonomi pemeritntah di Negara-negara berkembang yang memperoleh pinjaman dari IMF atau Bank Dunia; semua peranan yang diakui belum dimainkan oleh IMF sebelumnya. Hingga akhir tahun 1970-an, sekitar 70 negara berkembang yang telah mengikuti nasehat Bank Dunia dan IMF. Seperti yang diakui oleh Bello, selain untuk membayar kembali utang luar negeri kepada Negara-negara utara, menghancurkan system ekonomi yang berbasiskan pada peran Negara, juga adalah tujuah strategis dari doktrin ini.

Program restrukturisasi ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap hubungan antara Negara-negara berkembang dan Negara-negara industry maju. Program ini dirancang khusus untuk tujuan spesifik; diantaranya untuk memastikan bahwa negara-negara peminjam akan mengembalikan utang; untuk meningkatkan aliran barang dari Selatan ke Utara; dan meningkatkan kontrol terhadap pasar di negara-negara Selatan untuk produk-produk dari Utara. Secara singkat, Pablo Davalos menguraikan program Structural Adjustment sebagai “sebuah proses global yang mendefinisikan kekuasaan geopolitis dan pre-eminence capital keuangan;” dimana bertujuan untuk memastikan control, dominasi kepemilikan dan penggunaan sumber daya alam dan persedian buruh.” Dengan kata lain, semua program ini dirancang khusus untuk memastikan pengontrolan terhadap ekonomi negara-negara Selatan. Dengan demikian, beberapa kalangan menilai utang luar negeri sebagai tidak lebih dari sebuah sebuah bentuk kolonialisme baru paska Perang Dunia Kedua.

Konsekuensi yang ditimbulkan oleh krisis utang luar negeri pada tahun 80-an sangat menyedihkan bagi Negara-negara berkembang. Secara ekonomis, meskipun Negara-negara yang berutang tersebut berusaha untuk membayar kembali utang mereka, justru mereka terjerumus ke dalam siklus utang yang sangat menyedihkan, sehingga ekonom menguraikan decade 80 sebagai “lost decade” bagi Negara-negara berkembang. Secara global, utang luar negeri negara-negara berkembang bertambah dari 639 miliar USD ke 1.341 milliar USD pada tahun 1990; dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga sekarang. Untuk Amerika Selatan saja, utang mereka bertambah dari 280 milliar USD ke 435 miliar USD pada tahun 1993.

Di Afrika, melalui SAP, negara-negara Afrika dipaksa untuk memotong anggaran untuk kesehatan, pendidikan serta sector palayanan sosial lainnya; melakukan privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik negara, menghapus semua aturan yang bertujuan untuk melindungi produk-produk dalam negeri dan buruh lokal, serta membuka pasar bagi investasi asing. Dari banyak kajian yang dilakukan, program restrukturisasi yang diimpose oleh Bank Dunia dan IMF, realitas yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan; justru menambah kemiskinan dan kemelaratan rakyat Afrika. Bahkan hal ini sendiri diakui oleh Bank Dunia, bahwa program restrukturisasi tidak banyak membantu Afrika. Fenomena yang sama juga berlaku untuk negara-negara di Amerika Latin seperti Argentina, Chile, Meksiko dan Asia seperti Thailand dan Filipina.
Khusus untuk kawasan Asia, para ekonom sering mengklaim bahwa kebijakan-kebijakan di atas membawa dampak positif terhadap perumbuhan ekonomi. Fokusnya sering terarah pada kasus Korea, Singapure, dan Taiwan, serta Thailand, dan Indonesia selama tahun 1980-an hingga 90-an sebelum terjadinya krisis. Khusus untuk kasus Indonesia dan Thailand, meskipun diakui bahwa dilihat dari GDP-nya, terjadi peningkatan dari tahun 1960-an hingga tahun 1990-an, namun pada akar rumput, kebijakan-kebijakan yang datang atas nasehat dari Bank Dunia dan IMF telah menghancurkan pertanian lokal, meningkatkan arus urbanisasi, meningkatkan eksploitasi terhadap buruh lokal, dan memperlebar jurang antara miskin dan kaya. Khusus untuk Thailand, kebijakan-kebijakan di atas menghancurkan pertanian yang sering menjadi sumber kehidupan masyarakat rural. Dampaknya banyak rakyat yang meninggalkan area rural dan pertanian mereka untuk mencari kerja di area perkotaan. Dari sejumlah itu, ada yang terjerumus ke dalam prostitusi, dan juga ada yang menjadi obyek perdagangan dengan apa yang disebut “Human Trafficking.”

Dalam konteks hubugan antara Negara-negara Utara dan Selatan, utang luar negeri juga secara terus menerus memperlebar jurang antara Utara dan Selatan. Contohnya, hingga sekarang, 5% penduduk dunia menguasai 80% sumber ekonomi global sementara yang menyisakan 20% sumber daya ekonomi untuk 95% penduduk dunia. Dengan pengalaman global tersebut, pada saat ini banyak kalangan yang sudah mulai melakukan kampanhe global untuk membatalkan semua proses pembayaran kembali terhadap utang luar negeri oleh negara-negara Selatan.

Catatan untuk Timor-Leste Serta Upaya Yang Akan Dilakukan Untuk Menangulangi Apa Bila Berada Pada Situasi Krisis.

Uraian di atas menunjukkan sejarah dan dampak yang ditimbulkan oleh utang luar negeri. Semua rekor ini sudah didokumentasi oleh banyak kalangan. Sehingga sangat disayangkan bahwa di saat semua penduduk di negara-negara berkembang sudah menyadari akan bahayanya dari berutang, Timor-Leste yang hingga sekarang ini belum berutang, justru mau menjerumuskan diri kepada sebuah “siklus setan” yang ujungnya nggak jelas tersebut. Dalam kaitan dengan pengalaman global dan situasi kita saat ini, ada beberapa poin penting yang saya ingin garisbawahi.
Pertama, sejarah utang luar negeri mengindikasikan dengan jelas bahwa negara-negara kreditor memberi pinjaman dengan tujuan untuk memperluas pasar buat produk mereka, menguasai sumber daya alam, dan memperoleh buruh yang murah. Ini adalah sebuah bentuk penjajahan baru yang berlaku bagi negara besar manapun yang permintaan terhadap bahan-bahan mentah dan perluasan pasar meningkat, seperti yang dialami Cina sekarang ini. Situasi ini tentu saja berlaku bagi utang yang diklaim “konsensional” sekalipun. Dalam kasus kita sekarang, meskipun Pemerintah Timor-Leste belum memberikan informasi secara detail mengenai berbagai kondisi dari utang tersebut, tetapi indikasi ini terlihat jelas dengan 40% dari uang yang dipinjamkan dari Portugal akan digunakan untuk membeli bahan-bahan dari Portugal. Itu belum terhitung dengan jumlah tenagara kerja atau yang nota bene “ahli” yang akan didatangkan dari Portugal. Meskipun 40% diklaim akan digunakan untuk membelanjakan bahan-bahan di Timor-Leste, tetapi yang jelas bahwa hampir tidak ada yang tinggal untuk ekonomi lokal, karena Timor-Leste sekarang tidak memproduksi sesuatu. Jadi 40% mungkin akan menyerang ke negara-negara seperti Indonesia, Australia, Singapure, dll.

Kondisi yang mungkin lebih buruk juga akan berlaku bagi pinjaman dari Cina. Beberapa kasus seperti yang ditunjukkan oleh organisasi Lao Hamutuk, seharusnya sudah memberikan lampu hijau bagi kita tentang pinjaman dari Cina. Selain itu, pengalaman kita dengan bantuan luar negeri Cina selama beberapa tahun terakhir sudah seharusnya menjadi referensi bagi kita, bahwa bukan hanya uang yang datang, tetapi juga tenaga kerja mereka dan perusahaan mereka. Sehingga, kebanyakan uang tersebut akan kembali ke Cina untuk membayar tenaga kerja Cina, membayar para perusahaan Cina, dan membeli semua bahan dari Cina. Ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara-negara kreditor pada tahun 1960-an hingga 70-an; dimana pinjaman diberikan sebagai bagian dari perluasan pasar untuk produk-produk mereka. Untuk Cina persediaan akan pasar luar negeri dan kontrol terhadap sumber daya alam sangat penting mengingat meningkatnya produksi mereka, dan jumlah penduduk mereka yang besar berdampak pada meningkatnya permintaan akan sumber daya alam, terutama minyak.

Kedua, kasus Meksiko juga memberikan sebuah contoh yang penting bagi Timor-Leste untuk memikirkan. Mesksiko adalah salah satu negara yang kaya akan minyak, lebih banyak dari Timor-Leste beberapa kali lipat. Namun seperti yang sudah sering diperingatkan oleh banyak kalangan, "kondisi harga minyak yang tidak menentu seringkali menyulitkan pemerintah negara-negara pengexpor minyak untuk membuat rancangan pembangunan yang pasti dan tepat. Hal ini terbukti dalam kasus Meksiko, dimana memulai pinjaman dengan perhitungan bahwa harga minyak di pasar internasional akan tetap tinggi. Namun ketika harga minyak justru anjlok di saat mereka harus mengembalikan utang mereka. Akhirnya, Meksiko terjerumus ke dalam utang, dan menyatakan menyerah untuk membayar utangnya.

Untuk kasus kita, sampai sekarang belum jelas mengenai bagaimana kita akan membayar utang tersebut. Ketertutupan Pemerintah untuk analisis mereka membuat situasi menjadi lebih sulit, karena banyak orang Timor-Leste tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran para pemimpin kita. Namun dilihat dari kaca mata negara-negara yang akan memberikan utang, baik itu Cina maupun Portugal, mata mereka sedang tertuju kepada minyak. Sayangnya hingga sekarang, perhitungan Pemerintah kita tentang harga minyak di masa depan, jangka waktu pembayaran, serta bunga dari utang dan kondisi lain yang terlampir dalam utang ini belum mengemuka ke publik. Hal ini menyulitkan publik untuk meraba-raba apa yang akan terjadi dengan utang di masa depan.

Ketiga, sejah ini, yang tampak jelas bahwa, yang mendorong Pemerintah kita untuk berutang adalah untuk merealisasikan mimpi-mimpinya, seperti membangun jalan tol, pusat listrik, pelabuhan, lapangan udara, dll. Namun, kita belum dijelaskan, apa yang akan dihasilkan dari semua ini untuk mengembalikan uang untuk membayar kembali utang. Pemerintah mungkin berargumen bahwa rakyat Timor-Leste membutuhkan jalan raya yang bagus untuk membawa produk mereka untuk dipasarkan di Dili. Tentu saja, tidak ada orang Timor-Lese yang menolak akan pentingnya jalan raya, listrik, dan infrastruktur lain.

Tetapi juga harus diingat pula bahwa membangun jalan tol atau jalan raya yang nan indah, pelabuhan, dll tidak selamanya membantu rakyat kecil, terutama para petani kita. Pengalaman beberapa negara mengindikasikan bahwa kebanyakan dari infrastruktur di atas lebih banyak menguntungkan para orang kaya dan para perusahaan karena memfasilitasi mereka untuk memperluas pasarnya hingga ke pelosok, dan bukan sebaliknya, seperti yang diharapkan orang Timor-Leste. Dengan kata lain, dengan jalan yang bagus, akan mempermudah mereka untuk menjual produk-produk mereka ke desa-desa; bukan membantu para petani untuk memasarkan hasil pasarannya ke kota. Para petani Timor-Leste tidak akan dapat bersaing dengan para perusahaan-perusahaan yang masuk dari luar dengan dana yang besar. Akhirnya, para petani lokal akan semakin tersisih dengan kebijakan pemerintah yang membuka pasar lebar-lebar, tanpa perlindungan petani kita.

Upaya Yang Dapat Dilakukan Ketika Dihempas Badai Krisis
Perlu Gerakan Kembali ke Desa

Desa harus dilihat bukan sebagai yang unik dan terpencil saja. Selama ini desa hanya menjadi komoditi politik ketika ada pilkada dan pemilihan anggota dewan (DPRD/DPR dan DPD). Desa populer hanya untuk urusan politik pilkada dan Dewan. Tetapi untuk urusan pertanian, jarang yang ada pergi ke desa. Yang sarjana pertanian justru cenderung ke kota. Lalu kerjanya apa?
Ke depan, desa harus kembali pada perannya menjadi basis, untuk urusan pertanian dan peternakan guna meningkatkan kapasitas pangan lokal. Ini merupakan salah satu strategi menghadapi krisis keuangan global yang berdampak pada gejolak ekonomi secara luas.Untuk memperkuat sektor pertanian dan peternakan, maka Pemerintah pusat dan 13 pemerintah distric/kota di Timor leste perlu melakukan “Gerakan Kembali ke Desa'.

setelah mengamati krisis keuangan global saat ini tidak banyak berdampak kepada masyarakat Timor-Leste karena memang kita masih hidup dengan produk-produk lokal. Ini karena produk-produk lokal masih menolong seperti ketika terjadi krisis tahun 1997. Krisis ekonomi global justru menjadi peluang bagi kita untuk mengadakan gerakan penguatan ekonomi lokal.

Karena mau tidak mau, kita harus memperhatikan pembangunan ekonomi lokal dengan melakukan gerakan kembali ke desa. Itu merupakan satu hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan olehpemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk membangun sektor pertanian dan peternakan. Sering ada indikasi yang menunjukkan kekurangan sandan,pangan dikarnakan, bukan karena orang Timor-Leste tidak punya makanan bergizi, tapi kita suka makanan produk-produk industri dari luar yang serba instan.

Untuk itu, gerakan kembali ke desa untuk memperkuat basis pertanaian dan peternakan perlu dilakukan. Dalam konteks membangun ekonomi lokal,maka perlu kita canankan program-program yang berbasis ekonomi kerakyatan seperti di Mecxico yang dilopori oleh gerekan pemudah anggur merah “Anggur Merah” (anggaran untuk rakyat menuju sejahtera).yang dicanangkan oleh (Movemento Joventude uvas Vermelha atau Gerakan Pemuda/Petani Anggur Merah Mecxico) Tetapi, dengan harapan “Anggur Merah” harus betul-betul menuju pada kesejahteraan rakyat. Kita dapat menganaloginya dengan istilah. “Anggur Merah” harus menjurus pada “angsa putih”, yakni anggaran besar untuk membangun pertanian dan peternakan. Itu berarti konsekuensinya, belanja untuk birokrasi harus dikurangi dan perbanyak anggaran untuk membangun desa guna memperkuat ekonomi lokal dengan mengembangkan sektor pertanian dan peternakan. Juga membangun sarana dan prasarana transportasi sampai ke desa-desa. Dalam kaitan itu, perlu kita pahami bahwa anggaran untuk birokrasi harus ditekan. Kunjungan Menteri yang terkait, dan wakil menteri dengan jajarannya ketika melakukan lawatan ke desa-desa tidak usah dengan rombongan,hanya dengan tenaga profesional dengan jumlah cukup, dua orang saja. Ini untuk megurangi biaya perjalanan dan biaya-biaya lainnya. Dengan demikian, anggaran betul-betul difokuskan untuk membangun bidang pertanian dan peternakan.

Sebab, banyak bahan pertanian ada di desa. contohnya, di wilayah Soibada buah avokad menjadi makanan babi, di Distric Baucau sub distric Laga, nanas kadang-kadang sampai busuk. Ini bukan karena petani tidak tahu manfaatnya, tetapi karena tidak ada sarana transportasi untuk mengangkut ke pasar. Karena itu, masyarakat di desa lebih suka mengonsumsi makanan yang serba instan yang diproduksi pabrik-pabrik, padahal makanan itu bahan bakunya ada di kebun mereka sendiri. Jadi, gagasan gerakan kembali ke desa lebih dimaksudkan bagaimana pemerintah di daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota menyatukan langkah untuk memberdayakan potensi-potensi lokal di sektor pertanian dan peternakan guna memperkuat ekonomi lokal dan menigkatkan produksi.

Penguatan ekonomil lokal, memiliki hubungan juga dengan pendidikan dan kurikulum pendidikan kita. Dalam APBD dan APBN dapat dianggarkan 25 %, tapi kalau anggaran pendidikan itu untuk melakukan transfer pengetahuan segala sesuatu yang datang dari luar, maka anak-anak akan dididik meninggalkan kearifan-kearifan lokal mereka. Pengetahuan tentang ketahanan pangan lokal, ekonomi lokal, digantikan dengan segala sesuatu yang datang dari luar. “Saya ingat, ada beberapa sekolah ada unsur muatan lokal (mulok), tapi yang diajarkan Bahasa Inggris. Atau ada permintaan dari sekolah-sekolah untuk anak-anak buka internet lalu mencari nama-nama binatang yang sama sekali tidak diketahui di wilayahnya. Nah inikah pendidikan yang bermuatan lokal? Bukan bermaksud tidak boleh buka internet, tidak boleh belajar bahasa Inggris, tetapi mulok itu betul-betul mengajarkan anak-anak untuk mengenal kekuatan-kekuatan lokal yang mereka miliki.

Daripada tanya ciri-ciri binatang yang ada di kutub utara, datanglah kepada orang tua di desa-desa untuk dengar bagaimana keunggulan menenun, bagaimana menanam ubi jalar dan seterusnya. Pengetahuan itu dengan sendirinya akan mendorong anak-anak kita untuk berorientasi membangun ekonomi lokal. Karena itu, saya kira ini berhubungan dengan banyak dimensi dalam kehidupan bersama. Tetapi, apa yang saya tekankan itu dalam krisis ini menjadi blessing in disguise (berkat tersembunyi). Seperti apa yang pernah dikatakan oleh ketua gerakan Anggur Merah(Momimento Uvas Vermelha) di Mexico Mario Ramiires dari GTZ-MJU, mengatakan, untuk menghadapi krisis global, seluruh komponen bangsa harus mengembangkan potensi lokal yang ada, antara lain ternak. Kita harus kembali ke basis kita yaitu peternakan dan pertanian, meski krisis keuangan global sekarang ini tidak terlalu berdampak langsung terhadap ekonomi Timor-Leste. “Anggur Merah” harus diarahkan untuk mengembangkan sektor pertanian dan peternakan.

Anggota Panitia Anggaran DPRD(Distrito/Sub Distric) di Timor Leste, setiap pengajuan kebijakan umum keuangan. di Pemerintah Distric pada, setiap akhir bulan harus mengajukan Kebijakan Umum Anggaran (KUA Decicao Publicu Osamento) dan dicermati oleh DPR –pemerintah daerah setempat(Governo Distrital) dalam hal program dengan menggunkan stimasi anggaran yang sesuai dengan permintaan/kebutuhan dari segi kebijakan umum. DPRD dalam hal ini panitia anggaran harus merancangan KUA RAPBD untuk disempurnakan. Ini karena panitia anggaran harus melihat pemerintah dalam menyusun KUA yang jangan bersifat normatif, padahal yang diharapkan ada sesuatu yang baru. Dan hasil penyempurnaannya harus benar-benar mengutip pemikiran Direktur Utama (Dirut) Bank Perkreditan Rakyat TLM Caracas (Mexico) Momimento Joventude Uvas Vermelha“Anggur Merah”. Berpendapat, untuk membangun sektor pertanian jangan sampai terjadi kesenjangan antara komitmen dengan keberpihakan anggaran dari pemerintah. Misalnya, alokasi pupuk untuk satu kabupaten di setiap distric. Harus sama dengan kuota pupuk untuk distric yamg lain. Jika ini yang terjadi, lalu kita mau menggerakan sektor pertanian dari mana, petani sangat sulit mendapatkan pupuk.


Daftar Pustaka

1. Charles W. Kegley, Jr. (2007). World Politics: Trend and Transformation. Belamont, CA: Thompson. P.
2. Jubilee Debt Campaign. Where did the Debt Come From? Ibid Ibid Democracy Now. (2005, January 13th). The Debt Threat: How Debt is Destroying the Developing World. John Pilger. (1993). War by Other Means. Éric Toussaint, Damien Millet. (2005, July). Indonesia; History of a Bankruptcy Orchestrated by IMF and the World Bank. IbidRobert Gilpin. (2001).

3. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. Princeton and Oxford: Princeton University Press. p. 314. Gilpin (2001). Global Political Economy: Understand the International Economic Order. Princeton and Oxford; Princeton University Press. p.315Walden Belo (2001). “Building an Iron Cage:
4. The Bretton Woods Institutions, the WTO, and the South.” In Sarah Anderson (Ed.). Views from the South: The Effects of Globalization and the WTO on Third World Countries. Chicago: Food First Books & The International Forum on Globalization. P.66
5. Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.88
6. Ibid Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.93 Robert K. La’o Hamutuk. (2009, November). Why Should Timor-Leste Go into Debt?
7. Schaeffer(2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.94
8. Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.95
9. Brooke G. Schoepf, Claude Scoepf & Joyce V. Millen (2000). “Theoretical Therapies, Remote Remedies: SAPs and the Political Ecology of Poverty and Health in Africa.” In Jim Yong Kim. Et all (Eds.). Dying for Growth: Global Inequality and the Health of the Poor. Monroe; Common Courage Press. P.99
10. Brooke G. Schoepf, Claude Scoepf & Joyce V. Millen (2000). “Theoretical Therapies, Remote Remedies: SAPs and the Political Ecology of Poverty and Health in Africa.” In Jim Yong Kim. Et all (Eds.). Dying for Growth: Global Inequality and the Health of the Poor. Monroe; Common Courage Press. P.101
11. La’o Hamutuk. (2009, November). Why Should Timor-Leste Go into Debt? “Kutipan dari Guterano “