Selasa, 13 April 2010

Terjerumusnya Negara-Negara Berkembang ke dalam Utang Luar Negeri: Kajian Pembelajaran untuk Masa Depan Ekonomi Timor Leste

By Cana Valencia

Pemerintah Timor-Leste sekarang tengah menempuh berbagai cara untuk memperolah utang dari beberapa sumber; Portugal, Cina, dan Institusi Keuangan Internasional seperti Bank Dunia dan IMF adalah sumber-sumber yang termasuk di dalamnya. Hal menyedihkan adalah, hingga sekarang, alasan fundamental yang melandasi rencana ini belum mengemuka ke ruang publik. Hal ini menyulitkan kita untuk memprediksi apa yang akan terjadi pada generasi mendatang. Namun yang jelas adalah bahwa pinjaman ini akan digunakan untuk merealisasi ambisi para pemimpin Timor-Leste, seperti membangun jalan tol, pelabuhan, gedung mewah, dan sarana infrastruktur lain. Mengingat bahwa keputusan ini adalah keputusan yang sangat krusial bagi masa depan Negara ini, melalui artikel ini, penulis ingin mengkaji persoalan utang luar negeri dalam konteks global. Kiranya artikel ini akan menjadi sebuah informasi tambahan bagi kalangan masyarakat sipil di Timor-Leste untuk memahami dampak yang ditimbulkan dari pinjaman luar negeri; dan dalam konteks yang lebih luas, untuk membantu kita membuat keputusan berdasarkan informasi dari berbagai sudut pandang.

Latar Belakang Global

Pinjaman luar negeri, atau utang luar negeri adalah salah satu hantu bagi pembangunan ekonomi negara dunia ketiga pada sa’at ini. Beberapa referensi yang mengkaji mengenai pembangunan di negara-negara berkembang mulai melihat persoalan pinjaman luar negeri sebagai salah satu pusat penyebab keterbelakangan negara-negara dunia ketiga. Beberapa persoalan yang timbul dari utang luar negeri adalah memperlebar jurang antara negara-negara miskin di bagian selatan dan negara-negara kaya di bagian utara; memiskinkan penduduk di negara-negara dunia ketiga; dan sering pula dilihat sebagai sebuah bentuk penjajahan baru. Menurut perhitungan IMF, pada tahun 2006, utang luar negeri dari 146 negara selatan melampaui 2.207 milliar USD dan uang yang harus mereka bayarkan adalah 495.3 milliar USD. Jumlah ini diakui sendiri oleh IMF bahwa angka ini melampaui kemampuan negara-negara di atas untuk membayar, mengingat nilai di atas sama dengan 80% dari seluruh export barang dan jasa dari negara-negara di atas.

Data yang ditunjukkan oleh organisasi masyarakat sipil lebih menyedihkan lagi. Menurut data dari Jubilee Debt Campaign, sebuah jaringan yang melakukan advokasi untuk menghapus utang luar negeri negara-negara berkembang, pada tahun 2006, total utang luar negeri negara-negara berkembang adalah 2.9 triliun USD, dan pada tahun yang sama mereka membayar 573 miliar USD. Sementara negara-negara paling miskin di dunia, pada tahun yang sama membayar 34 miliar USD kepada negara-negara kaya; artinya negara-negara miskin membayar 94 juta USD setiap harinya kepada negara-negara kaya. Perhitungan lain menunjukkan bahwa negara-negara berkembang membayar $.13 USD untuk membayar kembali $.1 USD; dan sekitar 60 negara termiskin telah membayar 550 miliar USD untuk pinjaman pokok dan bunganya, selama 30 tahun terakhir, namun masih berutang 523 milliar USD.
Contoh lain dari betapa pedihnya utang luar negeri adalah kawasan Sub-Sahara Afrika. Menurut Noreena Hertz, penulis buku “The Debt Threat: How Debt is Destroying the World,” setiap harinya rakyat di kawasan yang terkenal dengan kemiskinan ini membayar 30 juta USD; pada saat yang bersamaan 26 juta penduduknya terinfeksi penyakit HIV-AID, setiap 10 tahun, dan 40 juta anak kehilangan orang tuanya karena HIV-AIDS.

Angka-angka di atas merupakan manifestasi dari sistem ketidakadilan global yang sekarang sedang berlaku di dunia, dimana utang luar negeri adalah salah satu bagian terpenting darinya. Adalah sebuah keprihatinan ketika melihat bahwa di negara-negara yang memiliki utang besar, negara tidak mampu memberikan pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lainnya; pada saat yang bersamaan uang yang mengalir ke luar negeri mencapai ratusan juta dollar setiap tahunnya. Meskipun rakyat yang menanggung beban untuk membayar utang luar negeri seperti di atas, tetapi bukanlah mereka yang mengambil keputusan. Kabanyakan dari utang yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional, dan negara-negara Barat, masuk ke kantong para diktator serta kroni-kroninya; seperti Soeharto di Indonesia, Ferdinand Marcos di Filippina, regime apartheid di Afrika Selatan, Agusto Pinochet di Chille dan lainya.
Dengan realitas tersebut, berbagai kalangan akademisi, wartawan dan aktivis internasional melihat utang luar negeri sebagai sebuah bentuk penjajahan baru; diimana utang luar negeri telah memfasilitasi aliran sumber kekayaan dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya. Wartawan dokumenter ternama, John Pilger, bahkan menyebut utang luar negeri sebagai sebuah bentuk lain dari perang (War by other Means), dimana perang yang tidak terlihat di layar televisi atau berita, perang yang terdiam dan tersembuny, tidak menggunakan senjata dan peluru, tidak ada okupasi militer; tetapi telah membunuh jutaan anak dan orang miskin di seluruh dunia dalam hitungan harinya.

Bagaimana Krisis ini Muncul?
Sejarah munculnya krisis utang luar negeri adalah baru; setidaknya setelah Perang Dunia Kedua. Pasca Perang Dunia Kedua, para pemerintah di negara-negara utara, bank-bank swasta serta lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF memberikan pinjaman utang kepada negara-negara dunia ketiga (Amerika Selatan, Afrika dan Asia) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur maha besar seperti jalan tol, bendungan, gedung-gedung mewah, pelabuhan, dan lainnya. Mayoritas negara-negara dunia ketiga pada waktu itu juga berambisi untuk mentranformasi status masyarakat mereka; dari masyarakat agrarian ke masyarakat industrialis; menciptakan lapangan kerja bagi rakyat; membangun infrastruktur seperti jalan raya, lapangan terbang, pelabuhan, bendungan, etc; menyediakan pelayanan kesehatan, pendidikan dan air bersih; serta mimpi nan indah lainnya. Untuk merealisasi mimpi-mimpin tersebut, negara-negara yang baru merdeka pada saat itu berpaling kepada Bank-Bank Swasta dan negara-negara barat untuk mendapatkan pinjaman luar negeri, dengan harapan bahwa hasil penjualan sumber daya alam mereka nantinya, akan digunakan untuk membayar kembali utang tersebut.

Kemudian mulai tahun 1970-an, Bank-Bank swasta di Eropa Barat dan Amerika Utara juga mulai meningkatkan partisipasi mereka dalam hal pinjaman luar negeri secara drastis. Alasan utama bank-bank swasta ini untuk meningkatan keterlibatan mereka adalah mereka melihat bahwa memberikan pinjaman adalah salah satu cara untuk menginvestasikan uang mereka dalam bentuk “Eurodollar.” Antara tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, jumlah uang di bank-bank swasta meningkat sebelas kali lipat; dari 10 milliar USD sampai sampai 110 milliar USD. Untuk negara-negara Amerika Selatan saja, antara tahun 1950-an hingga 1970, mereka menerima sekitar 20 milliar USD dalam bentuk utang luar negeri.
Ketika terjadi krisis minyak global pada tahun 1973, Negara-negara penghasil atau pengekspor minyak menerima uang dalam jumlah yang besar dari hasil penjualan minyak mereka. Di sisi lain, negara-negara pengimpor minyak menghadapi defisit dalam anggaran mereka karena melonjaknya harga minyak yang berdampak pada pelonjakan harga bahan-bahan sembako. Situasi ini sangat menguntungkan para bank-bank swasta di Amerika Utara dan Eropa Barat. Karena di satu sisi, negara-negara pengimpor minyak membutuhkan pinjaman untuk menutup defisit anggaran mereka; di sisi lain, negara-negara penghasil atau pengekspor minyak yang pendapatannya meningkat drastis, sebagian dari pendapatan mereka ditabung di Bank-Bank swasta di Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Demi meningkatkan keuntungan mereka, bank-bank ini kemudian menurunkan tingkat bunga mereka dan memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang. Yang menarik adalah bank-bank ini memberikan pinjaman agar negara-negara berkembang dapat membeli bahan-bahan dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Salah satu contohnya adalah pada tahun 1970-an, 42% dari bahan konstruksi Inggris dan 32% dari industria textile Inggris dipasarkan di negara-negara berkembang. Contoh lain adalah Bank Expor-Impor Amerika, memberikan pinjaman kepada negara-negara Amerika Selatan agar mereka memberikan pesawat dari Amerika Serikat, untuk mempromosikan ekonomi yang berorientasi ekspor. Bagi bank-bank swasta Amerika, alasan ekonomisnya jelas: memperluas pasar dan peningkatan keuntungan, karena terjadinya perubahan terhadap pasar domestik di Amerika Serikat. Selain alasan ekonomis, pinjaman luar negeri juga digunakan untuk sebagai salah satu strategi untuk menghambat meluasnya pengaruh komunis; melalui apa yang disebut dengan Containment Policy. Secara global kebanyakan negara yang mendapat pinjaman dari Amerika Serikat adalah diktator, yang juga merupakan boneka-boneka Washington, sehingga para kreditor percaya bahwa para negara penerima utang akan menggunakan kembali uang tersebut untuk membeli peralatan militer dari Amerika Serikat.

Dua negara yang menarik untuk dilihat adalah Indonesia dan Meksiko. Indonesia, salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, juga tidak terlepas dari jerat utang luar negeri. Ketika Soekarno digulingkan oleh Soeharto pada tahun 1965, negara-negara barat langsung bereaksi dengan memberikan bantuan dalam bentuk “Aid” untuk membantu pemulihan ekonomi. Kemudian diikuti dengan 534 juta dollar dalam bentuk utang, dengan rencana bahwa akan dibayar bersama bunganya setahun kemudian. Sebuah perhitungan yang tidak dapat terealisasikan. Yang terjadi, utang Indonesia, justru meningkat terus dari tahun ke tahun. Misalnya pada tahun 1970, utang luar negeri Indonesia adalah 3.7 miliar USD, dan pada tahun 2002, utang luar negeri US melonjak sampai 78.9 milliar USD.

Selain Indonesia, salah satu negara yang menarik untuk dilihat dalam kaitannya dengan kasus Timor-Leste adalah Meksiko. Antara tahun 1977 hingga 1979, Meksiko berutang 88 Milliar USD. Dari angka di atas hanya 14.3 milliar USD atau 16.25% yang digunakan di dalam negeri; sementara 73.7 milliar USD atau 83.75% digunakan untuk membeli bahan dari negara lain. Karena Mexico adalah negara yang kaya akan minyak, ketika terjadi krisis minyak global, negara ini tidak mengeluarkan banyak uang untuk mengimpor minyak. Namun tujuan utama untuk meminjam adalah untuk mengembangkan industry minyaknya, dengan sebuah perhitungan bahwa meningkatnya harga minyak akan memberikannya pendapatan yang banyak untuk membayar kembali utang. Sebuah perhitungan yang kemudian ikut membawa Mexico ke dalam krisis utang; karena pada tahun 1980-an harga minyak global jatuh di pasar internasional.

Pada tahun 1979, terjadi perubahan kebijakan finansial di Washington, dimana Paul Volcker, kepada Federal Reserve menaikkan tingkat bunga untuk mengatasi inflasi di U.S. Meskipun diakui bahwa Ia tidak berniat untuk membawa negara-negara peminjam ke dalam krisis utang, tetapi keputusan ini membawa malapetaka bagi negara-negara peminjam. Bunga utang Meksiko naik tiga kali lipat, dari 2.3 milliar USD menjadi 6.1 milliar USD. Menurut para ekonom, negara-negara Amerika Selatan membayar 100 milliar USD lebih banyak antara tahun 1976 hingga 1985, untuk bunganya saja, sebagai konsekuensi dari keputusan ini. Dampak lain dari kebijakan Washington adalah jatuhnya bahan-bahan komoditas di pasaran pada tahun 1980-an. Sebagai contohnya, harga daging sapi dari Argentina jatuh dari 2.25/kg pada tahun 1980 ke 1.60 pada akhir 1981; harga gula dari Brazil dan negara-negara Karibian jatih dari 79 cent/kg ke 27 cent/kg pada tahun 1982. Jatuhnya harga barang-barang eksport ini menurunkan daya negara-negara peminjam untuk membayar utang. Fenomena yang serupa juga dirasakan oleh negara-negara Afrika, dimana bahan-bahan eksport utama mereka anjlok di pasaran internasional; situasi yang membuat mereka mustahil untuk mengembalikan utang.

Dengan keadaan global tersebut, negara-negara dunia ketiga kemudian terjerumus ke dalam sebuah krisis utang yang terus berlanjut hingga sekarang, dan terus menguras negara-negara dunia ketiga. Diawali dengan Mexico; negara yang juga kaya akan minyak, pada awalnya mengimpikan bahwa hasil expor minyaknya akan dapat digunakan untuk membayar kembali utangnya, pada tahun 1982, menyatakan menyerah dan tidak dapat membayar kembali utangnya; kemudian menyerat ke negara-negara berkembang lainnya.

Terjerumusnya Negara-negara Berkembang

Sebagai reaksi terhadap krisis ini, pada tahun 1985, Secretary of the Treasury Amerika Serikat, James Baker menginisiasi sebuah kebijakan baru, yaitu Structural Adjustment Program (SAP). Kebijakan ini berbasiskan apa yang disebut dengan Washington Consensus. Berdasarkan kebijkana baru ini, Negara-negara yang ingin mendapatkan utang dari IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen untuk melakukan re-strukturisasi atau perubahan dalam kebijakan ekonomi makro mereka, yang berarah pada ekonomi yang berorientasi ekspor (export-led growth), mengurangi peranan Negara dalam ekonomi, dan privatisasi sector-sektor publik. Kepercayaan yang melandasi kebijakan ini adalah bahwa “peranan Negara dalam ekonomi harus dikurangi, dan keterbukaan ekonomi untuk dunia luar adalah komponen penting dari konsensus neo-liberal; pemerintah harus mengurangi atau menghapus semua aturan, privatasisi terhadap perusahaan-perusahaan Negara atau publik dan beralih dari Industrialisasi Subtitusi Impor menuju ke strategi yang berorientasi kepada ekspor.” Dalam konteks yang lebih luas, mengharuskan Pemerintah Negara-negara yang memperoleh utang untuk mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mengontrol inflasi; melakukan liberalisasi terhadap impor dan menghapus semua hambatan-hambatan bagi investasi asing; privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Negara; mengurangi nilai mata uang dan mengurangi atau menghapus semua peraturan yang melindungi buruh lokal.

Selain itu, peranan IMF dan Bank Dunia ditingkatkan dalam manajemen utang luar negeri, dengan menjadi agen penting dalam pembangunan; dan juga memformulasikan kebijakan ekonomi pemeritntah di Negara-negara berkembang yang memperoleh pinjaman dari IMF atau Bank Dunia; semua peranan yang diakui belum dimainkan oleh IMF sebelumnya. Hingga akhir tahun 1970-an, sekitar 70 negara berkembang yang telah mengikuti nasehat Bank Dunia dan IMF. Seperti yang diakui oleh Bello, selain untuk membayar kembali utang luar negeri kepada Negara-negara utara, menghancurkan system ekonomi yang berbasiskan pada peran Negara, juga adalah tujuah strategis dari doktrin ini.

Program restrukturisasi ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap hubungan antara Negara-negara berkembang dan Negara-negara industry maju. Program ini dirancang khusus untuk tujuan spesifik; diantaranya untuk memastikan bahwa negara-negara peminjam akan mengembalikan utang; untuk meningkatkan aliran barang dari Selatan ke Utara; dan meningkatkan kontrol terhadap pasar di negara-negara Selatan untuk produk-produk dari Utara. Secara singkat, Pablo Davalos menguraikan program Structural Adjustment sebagai “sebuah proses global yang mendefinisikan kekuasaan geopolitis dan pre-eminence capital keuangan;” dimana bertujuan untuk memastikan control, dominasi kepemilikan dan penggunaan sumber daya alam dan persedian buruh.” Dengan kata lain, semua program ini dirancang khusus untuk memastikan pengontrolan terhadap ekonomi negara-negara Selatan. Dengan demikian, beberapa kalangan menilai utang luar negeri sebagai tidak lebih dari sebuah sebuah bentuk kolonialisme baru paska Perang Dunia Kedua.

Konsekuensi yang ditimbulkan oleh krisis utang luar negeri pada tahun 80-an sangat menyedihkan bagi Negara-negara berkembang. Secara ekonomis, meskipun Negara-negara yang berutang tersebut berusaha untuk membayar kembali utang mereka, justru mereka terjerumus ke dalam siklus utang yang sangat menyedihkan, sehingga ekonom menguraikan decade 80 sebagai “lost decade” bagi Negara-negara berkembang. Secara global, utang luar negeri negara-negara berkembang bertambah dari 639 miliar USD ke 1.341 milliar USD pada tahun 1990; dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga sekarang. Untuk Amerika Selatan saja, utang mereka bertambah dari 280 milliar USD ke 435 miliar USD pada tahun 1993.

Di Afrika, melalui SAP, negara-negara Afrika dipaksa untuk memotong anggaran untuk kesehatan, pendidikan serta sector palayanan sosial lainnya; melakukan privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik negara, menghapus semua aturan yang bertujuan untuk melindungi produk-produk dalam negeri dan buruh lokal, serta membuka pasar bagi investasi asing. Dari banyak kajian yang dilakukan, program restrukturisasi yang diimpose oleh Bank Dunia dan IMF, realitas yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan; justru menambah kemiskinan dan kemelaratan rakyat Afrika. Bahkan hal ini sendiri diakui oleh Bank Dunia, bahwa program restrukturisasi tidak banyak membantu Afrika. Fenomena yang sama juga berlaku untuk negara-negara di Amerika Latin seperti Argentina, Chile, Meksiko dan Asia seperti Thailand dan Filipina.
Khusus untuk kawasan Asia, para ekonom sering mengklaim bahwa kebijakan-kebijakan di atas membawa dampak positif terhadap perumbuhan ekonomi. Fokusnya sering terarah pada kasus Korea, Singapure, dan Taiwan, serta Thailand, dan Indonesia selama tahun 1980-an hingga 90-an sebelum terjadinya krisis. Khusus untuk kasus Indonesia dan Thailand, meskipun diakui bahwa dilihat dari GDP-nya, terjadi peningkatan dari tahun 1960-an hingga tahun 1990-an, namun pada akar rumput, kebijakan-kebijakan yang datang atas nasehat dari Bank Dunia dan IMF telah menghancurkan pertanian lokal, meningkatkan arus urbanisasi, meningkatkan eksploitasi terhadap buruh lokal, dan memperlebar jurang antara miskin dan kaya. Khusus untuk Thailand, kebijakan-kebijakan di atas menghancurkan pertanian yang sering menjadi sumber kehidupan masyarakat rural. Dampaknya banyak rakyat yang meninggalkan area rural dan pertanian mereka untuk mencari kerja di area perkotaan. Dari sejumlah itu, ada yang terjerumus ke dalam prostitusi, dan juga ada yang menjadi obyek perdagangan dengan apa yang disebut “Human Trafficking.”

Dalam konteks hubugan antara Negara-negara Utara dan Selatan, utang luar negeri juga secara terus menerus memperlebar jurang antara Utara dan Selatan. Contohnya, hingga sekarang, 5% penduduk dunia menguasai 80% sumber ekonomi global sementara yang menyisakan 20% sumber daya ekonomi untuk 95% penduduk dunia. Dengan pengalaman global tersebut, pada saat ini banyak kalangan yang sudah mulai melakukan kampanhe global untuk membatalkan semua proses pembayaran kembali terhadap utang luar negeri oleh negara-negara Selatan.

Catatan untuk Timor-Leste Serta Upaya Yang Akan Dilakukan Untuk Menangulangi Apa Bila Berada Pada Situasi Krisis.

Uraian di atas menunjukkan sejarah dan dampak yang ditimbulkan oleh utang luar negeri. Semua rekor ini sudah didokumentasi oleh banyak kalangan. Sehingga sangat disayangkan bahwa di saat semua penduduk di negara-negara berkembang sudah menyadari akan bahayanya dari berutang, Timor-Leste yang hingga sekarang ini belum berutang, justru mau menjerumuskan diri kepada sebuah “siklus setan” yang ujungnya nggak jelas tersebut. Dalam kaitan dengan pengalaman global dan situasi kita saat ini, ada beberapa poin penting yang saya ingin garisbawahi.
Pertama, sejarah utang luar negeri mengindikasikan dengan jelas bahwa negara-negara kreditor memberi pinjaman dengan tujuan untuk memperluas pasar buat produk mereka, menguasai sumber daya alam, dan memperoleh buruh yang murah. Ini adalah sebuah bentuk penjajahan baru yang berlaku bagi negara besar manapun yang permintaan terhadap bahan-bahan mentah dan perluasan pasar meningkat, seperti yang dialami Cina sekarang ini. Situasi ini tentu saja berlaku bagi utang yang diklaim “konsensional” sekalipun. Dalam kasus kita sekarang, meskipun Pemerintah Timor-Leste belum memberikan informasi secara detail mengenai berbagai kondisi dari utang tersebut, tetapi indikasi ini terlihat jelas dengan 40% dari uang yang dipinjamkan dari Portugal akan digunakan untuk membeli bahan-bahan dari Portugal. Itu belum terhitung dengan jumlah tenagara kerja atau yang nota bene “ahli” yang akan didatangkan dari Portugal. Meskipun 40% diklaim akan digunakan untuk membelanjakan bahan-bahan di Timor-Leste, tetapi yang jelas bahwa hampir tidak ada yang tinggal untuk ekonomi lokal, karena Timor-Leste sekarang tidak memproduksi sesuatu. Jadi 40% mungkin akan menyerang ke negara-negara seperti Indonesia, Australia, Singapure, dll.

Kondisi yang mungkin lebih buruk juga akan berlaku bagi pinjaman dari Cina. Beberapa kasus seperti yang ditunjukkan oleh organisasi Lao Hamutuk, seharusnya sudah memberikan lampu hijau bagi kita tentang pinjaman dari Cina. Selain itu, pengalaman kita dengan bantuan luar negeri Cina selama beberapa tahun terakhir sudah seharusnya menjadi referensi bagi kita, bahwa bukan hanya uang yang datang, tetapi juga tenaga kerja mereka dan perusahaan mereka. Sehingga, kebanyakan uang tersebut akan kembali ke Cina untuk membayar tenaga kerja Cina, membayar para perusahaan Cina, dan membeli semua bahan dari Cina. Ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara-negara kreditor pada tahun 1960-an hingga 70-an; dimana pinjaman diberikan sebagai bagian dari perluasan pasar untuk produk-produk mereka. Untuk Cina persediaan akan pasar luar negeri dan kontrol terhadap sumber daya alam sangat penting mengingat meningkatnya produksi mereka, dan jumlah penduduk mereka yang besar berdampak pada meningkatnya permintaan akan sumber daya alam, terutama minyak.

Kedua, kasus Meksiko juga memberikan sebuah contoh yang penting bagi Timor-Leste untuk memikirkan. Mesksiko adalah salah satu negara yang kaya akan minyak, lebih banyak dari Timor-Leste beberapa kali lipat. Namun seperti yang sudah sering diperingatkan oleh banyak kalangan, "kondisi harga minyak yang tidak menentu seringkali menyulitkan pemerintah negara-negara pengexpor minyak untuk membuat rancangan pembangunan yang pasti dan tepat. Hal ini terbukti dalam kasus Meksiko, dimana memulai pinjaman dengan perhitungan bahwa harga minyak di pasar internasional akan tetap tinggi. Namun ketika harga minyak justru anjlok di saat mereka harus mengembalikan utang mereka. Akhirnya, Meksiko terjerumus ke dalam utang, dan menyatakan menyerah untuk membayar utangnya.

Untuk kasus kita, sampai sekarang belum jelas mengenai bagaimana kita akan membayar utang tersebut. Ketertutupan Pemerintah untuk analisis mereka membuat situasi menjadi lebih sulit, karena banyak orang Timor-Leste tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran para pemimpin kita. Namun dilihat dari kaca mata negara-negara yang akan memberikan utang, baik itu Cina maupun Portugal, mata mereka sedang tertuju kepada minyak. Sayangnya hingga sekarang, perhitungan Pemerintah kita tentang harga minyak di masa depan, jangka waktu pembayaran, serta bunga dari utang dan kondisi lain yang terlampir dalam utang ini belum mengemuka ke publik. Hal ini menyulitkan publik untuk meraba-raba apa yang akan terjadi dengan utang di masa depan.

Ketiga, sejah ini, yang tampak jelas bahwa, yang mendorong Pemerintah kita untuk berutang adalah untuk merealisasikan mimpi-mimpinya, seperti membangun jalan tol, pusat listrik, pelabuhan, lapangan udara, dll. Namun, kita belum dijelaskan, apa yang akan dihasilkan dari semua ini untuk mengembalikan uang untuk membayar kembali utang. Pemerintah mungkin berargumen bahwa rakyat Timor-Leste membutuhkan jalan raya yang bagus untuk membawa produk mereka untuk dipasarkan di Dili. Tentu saja, tidak ada orang Timor-Lese yang menolak akan pentingnya jalan raya, listrik, dan infrastruktur lain.

Tetapi juga harus diingat pula bahwa membangun jalan tol atau jalan raya yang nan indah, pelabuhan, dll tidak selamanya membantu rakyat kecil, terutama para petani kita. Pengalaman beberapa negara mengindikasikan bahwa kebanyakan dari infrastruktur di atas lebih banyak menguntungkan para orang kaya dan para perusahaan karena memfasilitasi mereka untuk memperluas pasarnya hingga ke pelosok, dan bukan sebaliknya, seperti yang diharapkan orang Timor-Leste. Dengan kata lain, dengan jalan yang bagus, akan mempermudah mereka untuk menjual produk-produk mereka ke desa-desa; bukan membantu para petani untuk memasarkan hasil pasarannya ke kota. Para petani Timor-Leste tidak akan dapat bersaing dengan para perusahaan-perusahaan yang masuk dari luar dengan dana yang besar. Akhirnya, para petani lokal akan semakin tersisih dengan kebijakan pemerintah yang membuka pasar lebar-lebar, tanpa perlindungan petani kita.

Upaya Yang Dapat Dilakukan Ketika Dihempas Badai Krisis
Perlu Gerakan Kembali ke Desa

Desa harus dilihat bukan sebagai yang unik dan terpencil saja. Selama ini desa hanya menjadi komoditi politik ketika ada pilkada dan pemilihan anggota dewan (DPRD/DPR dan DPD). Desa populer hanya untuk urusan politik pilkada dan Dewan. Tetapi untuk urusan pertanian, jarang yang ada pergi ke desa. Yang sarjana pertanian justru cenderung ke kota. Lalu kerjanya apa?
Ke depan, desa harus kembali pada perannya menjadi basis, untuk urusan pertanian dan peternakan guna meningkatkan kapasitas pangan lokal. Ini merupakan salah satu strategi menghadapi krisis keuangan global yang berdampak pada gejolak ekonomi secara luas.Untuk memperkuat sektor pertanian dan peternakan, maka Pemerintah pusat dan 13 pemerintah distric/kota di Timor leste perlu melakukan “Gerakan Kembali ke Desa'.

setelah mengamati krisis keuangan global saat ini tidak banyak berdampak kepada masyarakat Timor-Leste karena memang kita masih hidup dengan produk-produk lokal. Ini karena produk-produk lokal masih menolong seperti ketika terjadi krisis tahun 1997. Krisis ekonomi global justru menjadi peluang bagi kita untuk mengadakan gerakan penguatan ekonomi lokal.

Karena mau tidak mau, kita harus memperhatikan pembangunan ekonomi lokal dengan melakukan gerakan kembali ke desa. Itu merupakan satu hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan olehpemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk membangun sektor pertanian dan peternakan. Sering ada indikasi yang menunjukkan kekurangan sandan,pangan dikarnakan, bukan karena orang Timor-Leste tidak punya makanan bergizi, tapi kita suka makanan produk-produk industri dari luar yang serba instan.

Untuk itu, gerakan kembali ke desa untuk memperkuat basis pertanaian dan peternakan perlu dilakukan. Dalam konteks membangun ekonomi lokal,maka perlu kita canankan program-program yang berbasis ekonomi kerakyatan seperti di Mecxico yang dilopori oleh gerekan pemudah anggur merah “Anggur Merah” (anggaran untuk rakyat menuju sejahtera).yang dicanangkan oleh (Movemento Joventude uvas Vermelha atau Gerakan Pemuda/Petani Anggur Merah Mecxico) Tetapi, dengan harapan “Anggur Merah” harus betul-betul menuju pada kesejahteraan rakyat. Kita dapat menganaloginya dengan istilah. “Anggur Merah” harus menjurus pada “angsa putih”, yakni anggaran besar untuk membangun pertanian dan peternakan. Itu berarti konsekuensinya, belanja untuk birokrasi harus dikurangi dan perbanyak anggaran untuk membangun desa guna memperkuat ekonomi lokal dengan mengembangkan sektor pertanian dan peternakan. Juga membangun sarana dan prasarana transportasi sampai ke desa-desa. Dalam kaitan itu, perlu kita pahami bahwa anggaran untuk birokrasi harus ditekan. Kunjungan Menteri yang terkait, dan wakil menteri dengan jajarannya ketika melakukan lawatan ke desa-desa tidak usah dengan rombongan,hanya dengan tenaga profesional dengan jumlah cukup, dua orang saja. Ini untuk megurangi biaya perjalanan dan biaya-biaya lainnya. Dengan demikian, anggaran betul-betul difokuskan untuk membangun bidang pertanian dan peternakan.

Sebab, banyak bahan pertanian ada di desa. contohnya, di wilayah Soibada buah avokad menjadi makanan babi, di Distric Baucau sub distric Laga, nanas kadang-kadang sampai busuk. Ini bukan karena petani tidak tahu manfaatnya, tetapi karena tidak ada sarana transportasi untuk mengangkut ke pasar. Karena itu, masyarakat di desa lebih suka mengonsumsi makanan yang serba instan yang diproduksi pabrik-pabrik, padahal makanan itu bahan bakunya ada di kebun mereka sendiri. Jadi, gagasan gerakan kembali ke desa lebih dimaksudkan bagaimana pemerintah di daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota menyatukan langkah untuk memberdayakan potensi-potensi lokal di sektor pertanian dan peternakan guna memperkuat ekonomi lokal dan menigkatkan produksi.

Penguatan ekonomil lokal, memiliki hubungan juga dengan pendidikan dan kurikulum pendidikan kita. Dalam APBD dan APBN dapat dianggarkan 25 %, tapi kalau anggaran pendidikan itu untuk melakukan transfer pengetahuan segala sesuatu yang datang dari luar, maka anak-anak akan dididik meninggalkan kearifan-kearifan lokal mereka. Pengetahuan tentang ketahanan pangan lokal, ekonomi lokal, digantikan dengan segala sesuatu yang datang dari luar. “Saya ingat, ada beberapa sekolah ada unsur muatan lokal (mulok), tapi yang diajarkan Bahasa Inggris. Atau ada permintaan dari sekolah-sekolah untuk anak-anak buka internet lalu mencari nama-nama binatang yang sama sekali tidak diketahui di wilayahnya. Nah inikah pendidikan yang bermuatan lokal? Bukan bermaksud tidak boleh buka internet, tidak boleh belajar bahasa Inggris, tetapi mulok itu betul-betul mengajarkan anak-anak untuk mengenal kekuatan-kekuatan lokal yang mereka miliki.

Daripada tanya ciri-ciri binatang yang ada di kutub utara, datanglah kepada orang tua di desa-desa untuk dengar bagaimana keunggulan menenun, bagaimana menanam ubi jalar dan seterusnya. Pengetahuan itu dengan sendirinya akan mendorong anak-anak kita untuk berorientasi membangun ekonomi lokal. Karena itu, saya kira ini berhubungan dengan banyak dimensi dalam kehidupan bersama. Tetapi, apa yang saya tekankan itu dalam krisis ini menjadi blessing in disguise (berkat tersembunyi). Seperti apa yang pernah dikatakan oleh ketua gerakan Anggur Merah(Momimento Uvas Vermelha) di Mexico Mario Ramiires dari GTZ-MJU, mengatakan, untuk menghadapi krisis global, seluruh komponen bangsa harus mengembangkan potensi lokal yang ada, antara lain ternak. Kita harus kembali ke basis kita yaitu peternakan dan pertanian, meski krisis keuangan global sekarang ini tidak terlalu berdampak langsung terhadap ekonomi Timor-Leste. “Anggur Merah” harus diarahkan untuk mengembangkan sektor pertanian dan peternakan.

Anggota Panitia Anggaran DPRD(Distrito/Sub Distric) di Timor Leste, setiap pengajuan kebijakan umum keuangan. di Pemerintah Distric pada, setiap akhir bulan harus mengajukan Kebijakan Umum Anggaran (KUA Decicao Publicu Osamento) dan dicermati oleh DPR –pemerintah daerah setempat(Governo Distrital) dalam hal program dengan menggunkan stimasi anggaran yang sesuai dengan permintaan/kebutuhan dari segi kebijakan umum. DPRD dalam hal ini panitia anggaran harus merancangan KUA RAPBD untuk disempurnakan. Ini karena panitia anggaran harus melihat pemerintah dalam menyusun KUA yang jangan bersifat normatif, padahal yang diharapkan ada sesuatu yang baru. Dan hasil penyempurnaannya harus benar-benar mengutip pemikiran Direktur Utama (Dirut) Bank Perkreditan Rakyat TLM Caracas (Mexico) Momimento Joventude Uvas Vermelha“Anggur Merah”. Berpendapat, untuk membangun sektor pertanian jangan sampai terjadi kesenjangan antara komitmen dengan keberpihakan anggaran dari pemerintah. Misalnya, alokasi pupuk untuk satu kabupaten di setiap distric. Harus sama dengan kuota pupuk untuk distric yamg lain. Jika ini yang terjadi, lalu kita mau menggerakan sektor pertanian dari mana, petani sangat sulit mendapatkan pupuk.


Daftar Pustaka

1. Charles W. Kegley, Jr. (2007). World Politics: Trend and Transformation. Belamont, CA: Thompson. P.
2. Jubilee Debt Campaign. Where did the Debt Come From? Ibid Ibid Democracy Now. (2005, January 13th). The Debt Threat: How Debt is Destroying the Developing World. John Pilger. (1993). War by Other Means. Éric Toussaint, Damien Millet. (2005, July). Indonesia; History of a Bankruptcy Orchestrated by IMF and the World Bank. IbidRobert Gilpin. (2001).

3. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. Princeton and Oxford: Princeton University Press. p. 314. Gilpin (2001). Global Political Economy: Understand the International Economic Order. Princeton and Oxford; Princeton University Press. p.315Walden Belo (2001). “Building an Iron Cage:
4. The Bretton Woods Institutions, the WTO, and the South.” In Sarah Anderson (Ed.). Views from the South: The Effects of Globalization and the WTO on Third World Countries. Chicago: Food First Books & The International Forum on Globalization. P.66
5. Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.88
6. Ibid Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.93 Robert K. La’o Hamutuk. (2009, November). Why Should Timor-Leste Go into Debt?
7. Schaeffer(2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.94
8. Robert K. Schaeffer (2005). Understanding Globalization: The Social Consequences of Political, Economic and Environmental Changes. Maryland: Rowman & Little Field Publishers, Inc. p.95
9. Brooke G. Schoepf, Claude Scoepf & Joyce V. Millen (2000). “Theoretical Therapies, Remote Remedies: SAPs and the Political Ecology of Poverty and Health in Africa.” In Jim Yong Kim. Et all (Eds.). Dying for Growth: Global Inequality and the Health of the Poor. Monroe; Common Courage Press. P.99
10. Brooke G. Schoepf, Claude Scoepf & Joyce V. Millen (2000). “Theoretical Therapies, Remote Remedies: SAPs and the Political Ecology of Poverty and Health in Africa.” In Jim Yong Kim. Et all (Eds.). Dying for Growth: Global Inequality and the Health of the Poor. Monroe; Common Courage Press. P.101
11. La’o Hamutuk. (2009, November). Why Should Timor-Leste Go into Debt? “Kutipan dari Guterano “

Rabu, 17 Februari 2010

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SYSTEM HUKUM SERTA HUKUM KETATANEGARAAN TIMOR LESTE

PAPER INI DI PERSIAPKAN

OLEH

ADILSONIO DA COSTA JUNIOR

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNPAS

DI PRESENTASIKAN PADA PERTEMUAN (IV)

DISKUSI LEPAS T3

DI

BANDUNG, LENGKONG-ZONA AZUL, 21-FEBRUARI-2010


JUDUL MATERI

TENTANG

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SYSTEM HUKUM SERTA HUKUM KETATANEGARAAN TIMOR LESTE

( SUATU KAJIAN NORMATIF SOSIOLOGIS )

1.0. Sejarah Ilmu Hukum

1.1. Latar Belakang

Pada hakekatnya perkembangan ilmu hukum di dunia, berawal dan berlangsung tidak terlepas dari eksistensi kehidupan manusia itu sendiri. tidak mengherankan ketika individu-individu dalam suatu kelompok masyarakat selalu berkeinginan untuk hidup bermasyarakat dan dengan sifat ketergantungan baik antara individu, yang satu dengan yang lain maupun antara kelompok dengan individu dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Sifat-sifat keinginan manusia untuk bermasyarakat dimana, sebagai mahkluk sosial yang saling membutuhkan (Zoon Politicon) yang bersifat alamiah, sebagaimana di utarakan oleh Aristoteles dimana pemikir sosiolog ini, objektive dan realistic dalam membangun teorinya secara empirik.

Berangkat dari perilaku dan sifat-sifat manusia di atas, penulis berpendapat bahwa hal tersebut tetap tidak terhindar dari nalurih kekuasaan dan keserakahan dari individu atau kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dengan tujuan superiotitas atau mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi derajatnya dalam lingkungan kehidupan masyarakat kekuasaannya.

Agar terhindar dari benturan kepentingan dan sifat keserahkahan manusia atau kelompok untuk berkuasa, sebagaimana dalam Adigium yang di kembangkan oleh Thomas Hobbes yang sangat terkenal seperti Homo Hommini Lupus, (manusia yang satu adalah serigala bagi manusia yang lainnya) tentu di butuhkan sebuah perangkat (Hukum) untuk mengimbangi dan menjamin hak-hak fundamental yang di miliki oleh setiap orang agar tidak dapat di langgar atau di tindas oleh pihak yang berkuasa.

1.2. Definisi Ilmu hukum

Demikian dalam kajian Ilmu hukum juga menjelaskan beberapa definisi tentang ilmu hukum itu sendiri, seperti pemikiran para pakar hukum misalnya;

CROSS, mendefinisikan bahwa yang di maksud dengan Ilmu hukum adalah segala pengetahuan hukum yang mempelajari tentang segala bentuk dan manisfestasinya.

CURZON, mendefinisikan bahwa ilmu hukum adalah suatu ilmu yang mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum.

Dari pendefinisian ilmu hukum di atas, mengambarkan bahwa ternyata ilmu hukum mempunyai objek kajian yang relatif jauh lebih luas, sehingga batas, batasnya tidak dapat ditentukan.

Demikian menurut hemat penulis bahwa ilmu hukum tidak sebatas melakukan kajian atau membicarakan proses pembentukan peraturan perundang-undangan semata, akan tetapi melakukan berbagai studi kajian seperti filsafatnya, sejarah perkembangan hukum dari zaman yang dulu hingga pada suatu kajian studi hukum kontemporer, demikian pula hukum melihat fungsi-fungsi hukum itu sendiri pada tingkat peradaban kehidupan manusia.

Jadi ilmu hukum tidak hanya mempersoalkan tatanan hukum yang berlaku di sutau negara, namun dapat di mentahkan bahwa subyek dari ilmu hukum adalah hukum sebagai suatu fenomena dari kehidupan manusia dimana saja dan kapan saja. dengan demikian hukum dilihat sebagai Suatu fenomena Universal dan Bukan lokal atau Regional (Satjipto Raharjo 1983;5)

1.3. Cabang-Cabang Ilmu Hukum

Dengan melihat konsep pemikiran di atas, dapat memberikan suatu kerangka dasar dan gambaran umum tentang studi kajian ilmu hukum itu sendiri, sehingga penulis mengambil sebuah catatan singkat dari uraian studi ilmu hukum sebagaimana di utarakan oleh beberapa pemikir hukum di atas bahwa ilmu hukum tetap membahas beberapa cabang ilmu hukum dengan kajian yuridis seperti;

  1. Sejarah Hukum
  2. Sosiologis Hukum
  3. Filsafat Hukum
  4. Perbandingan Hukum,. Dst,..

Maka dapat di simak bahwa yang menjadi studi kajian Ilmu hukum dalam realitas kehidupan manusia adalah fenomena sosial dan yuridis yang tidak terlepas dari beberapa cabang ilmu hukum dimaksud.

2.1. Tradisi Hukum Dunia

2.2. Gambaran Umum tetang System hukum di Dunia

Dalam kajian system hukum ini, penulis ingin memaparkan beberapa tradisi hukum yang sementara ini di akui oleh berbagai negara di dunia, dengan mencoba melakukan suatu studi komparatif tentang negara-negara mana yang mempunyai system hukum yang sama dan negara mana yang mempunyai system hukum yang berbeda, serta kriteria-kriteria menurut konsep hukum tentang pembedaan tradisi hukum suatu negara.

Dengan demikian perbandingan hukum yang lebih komprehensif jika yang di perbandingkan bukan hanya system hukum akan tetapi hukum dalam system hukum atau tradisi hukum (Legal Tradition) yang berbeda. perlu disimak bahwa di dunia ini terdapat beberapa tradisi hukum atau yang sering disebut dengan istilah “system hukum” (legal system) atau “Keluarga hukum“ (Legal family).

2.3. Kriteria Pembedaan System Hukum

Dalam Teori hukum menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria yang selalu dijadikan sebagai kerangka acuan formal untuk membedakan System atau tradisi hukum di dunia, hal dimasud sebagai berikut;

  1. Kriteria Ideologi; misalnya apakah berdasarkan pada kebudayaan agama atau sekuler, berdasarkan kepada filsafat, ekonomi sosial dan sebagainya
  2. Kriteria teknik hukum; yang dalam hal ini masih dikelompokan dalam kategori yang sama bagi yang mempunayi teknik hukum yang sama
  3. Krietria Historis; yang dalam hal ini jika dilihat kepada sejarah hukum dari negara tersebut hukum di negara tertentu berasal dari sistem hukum yang mana
  4. Kriteia kawasan; yang dalam hal ini masing-masing dikelompokan menurut wilayah geografis, dimana negara tersebut berada, misalnya hukum dari kawasan Afrika, Asia Timur, Timur tengah, Scandinavia dan lain-lain
  5. Kriteria ras; yang dalam hal ini dibagi sesuai dengan ras bangsa yang bersangkutan.

Dengan menyimak beberapa kriteria yuridis tentang pembedahan system/tradisi hukum sebagaimana dimaksud di atas, serta sejarah perkembangan system/tradisi hukum di dunia seperti, System Hukum Eropa Kontinental, Anglo Saxon, Sosialis, Kedaerahan dan agama.

Menyimak pada pembagian ke lima tradisi hukum ini dapat digambarkan bahwa hanya ada dua tradisi hukum yang paling di akui dan berlaku di berbagai negara di dunia seperti Tradisi hukum Eropa Kontinental dengan Anglo Saxon, namun hal ini tidak berarti bahwa dengan pemberlakuan kedua tradisi hukum dimaksud menghilangkan atau mengeliminasi dan membatasi ketiga tradisi hukum lainnya. karena ketiga tradisi hukum tersebut masih tetap diakui di negara-negara penganut namun tidak mempunyai pengaruh yang lebih luas seperti tradisi hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon.

2.4. Tinjaun Historis Tentang Kelima Tradisi Hukum

Dalam kajian ini sengaja di kedepankan sejarah kelima tradisi hukum yang ada di dunia untuk di bahas secara lebih komprehensif;

  1. Tradisi Hukum Eropa Kontinental; merupakan tradisi hukum tertua yang lahir pada tahun 450 sebelum masehi dimana paling banyak berpengaruh di seluruh dunia, dan tradisi hukum ini mengambil sebagai dasarnya adalah Hukum Romawi; yang di anut oleh Perancis dan sebagaian besar negara eropa bekas negara jajahannya seperti; Spanyol, Italia, Belanda, Portugal dan beberapa negara di Asia misalnya Indonesia dan Timor Leste. (Sebagian Negara Skandinavia)

Dalam Implementasi hukumnya selalu mengunakan dan mengandalkan kitab undang-undang (CODE) sebagai dasar hukum utamanya. karena mengunakan undang-undang sebagai sumber hukum utamanya maka sistem hukum romawi sangat mengandalkan unsur-unsur logis dan sistematika berfikir seprti yang di ungkapkan oleh D’ Aguesseau bahwa roma di atur oleh akal pikiran dan tidak lagi di atur oleh penguasa. “Rome was rulling by her reason, having ceased to rule by her outhority”

  1. Tradisi hukum Anglo Saxon atau disebut juga dengan “Common law” atau anglo Amerika, lahir pada tahun 1066 masehi yakni masa the Norman Quenqist berasal dari hukum inggris, tradisi hukum ini juga berlaku di beberapa negara bekas jajahan inggris seperti, Amerika, Australia, India, Malaysia dan Singgapore.

tradisi hukum anglo saxon ini , mengandalkan Yurisprudensi, sebagai sumber hukum utamanya sehingga dalil-dalilnya bergerak dari kasus-kasus yang nyata dalam masyarakat.

  1. Tradisi Hukum Sosialis, merupakan tradisi hukum yang paling mudah di dunia yang lahir sejak revolusi Bolchevick di Rusia, pada awal abad ke (XX) pada tahun 1917, karena itu sistem hukum ini banyak di anut oleh negara-negara yang berhaluan komunis atau sosialis, seperti; Rusia dan negara-negara pecahan Uni soviet, Cina, Cuba dan lain-lain.

dasar dari tradisi hukum sosialis ini adalah tradisi hukum eropa kontinental dan hukum adat di negara masing-masing yang kemudian di pengarihu oleh ideologi Komunis. dengan sasaran utama adalah menghilangkan sifat borjois dalam suatu sistem hukum yakni dengan menghilangkan ketidak adilan ekonomi dan sosial dalam hukum.

  1. Tradisi Hukum kedaerahan, yakni tradisi hukum yang berdasarkan atas hukum asli daerah/negara/kawasan terntentu misanya; hukum cina yang berdasarkan hukum adat cina berlaku di negeri cina dan kawasan sekitarnya.
  2. Tradisi hukum yang berdasarkan atas agama; dalam hal ini agama mengarahkan perkembangan hukum tersebut, sehingga daya berlakunya cukup terjamin berhubung urusannya adalah urusan dengan tuhan sehingga para penganut tidak meninggalkan hukum seperti ini, hukum-hukum agama tersebut yang paling agresif dan luas pengaruh di dunia adalah hukum islam yang kaidah-kaidahnya didasarkan atas Kitab suci Alqur an dan sunnah nabi muhhamad.

Dari uraian singkat tentang sejarah perkembangan Tradisi hukum sebagaimana dimaksud di atas, tentu membuka sebuah wahana baru dengan demikian kita dapat memahami dan mempelajari system hukum yang berlaku dalam suatu negara dengan studi kajian yang lebih komprehensif.

2.5. Perkembangan hukum dan Sistem Hukum Ketata Negaraan Timor

Leste.

Sejarah perkembangan hukum di Timor Leste juga tidak terlepas dari pemberlakuan hukum dari negara suksesor atau negara kolonial, yang mana negara Timor Leste dalam masa peralihan atau transisi di bawah pemerintahan administratif PBB UNTAET, masih tetap mengakui segala segala pemberlakuan hukum peninggalan negara penjajah seperti dalam Regulasi UNTAET No. 25/1999 menjelaskan bahwa hukum yang pernah berlaku masih tetap berlaku sepnjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip standar hukum Internasional, demikian juga dalam Konstitusi Timor Leste, pasal (165) menyatakan bahwa “Hukum yang pernah berlaku di Timor Leste masih tetap berlaku sebelum ada perubahan dan tidak bertentangan dengan Konstitusi Timor Leste dan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan”

Dengan demikian hal-hal dimaksud menjadi dasar fundamental bahwa pemberlakuan dan di akuinya hukum negara kolonial, masih tetap di implementasikan meskipun dalam sistem hukum ketatanegaraan berbeda, diamana Pemerintah Timor Leste menganut sistem pemerintahan Semi Presidensial yang mengalami jalan tengah dari Parlamenter dan Presidensial (Koasi) sedangkan bila dibandingkan dengan pemerintah Indonesia yang menganut sistem pemerintahan Presidensial.

Sesuai dengan latar belakang uraian historis tentang pemberlakuan hukum di Timor Leste, penulis ingin memaparkan beberapa teori tetang bentuk negara dan bentuk pemerintahan berdasarkan dengan konsep pemikiran para pakar sebagai berikut;

1. teori bentuk negara, bermaksud membahas sistem penjelmaan politis dari pada unsur-unsur negara

2. teori bentuk pemerintahan adalah meninjau bentuk negara secara yuridis, yang bermaksud untuk mengungkapkan sistem yang menentukan hubungan antara alat-alat perlengkapan negara yang tertinggi dalam menentukan kebijaksanaan kenegaraan sebagaiamana dapat di ketemukan dalam konstitusi negara.

karena itu bentuk pemerintah kadang kala disebut sistem pemerintahan yang merupakan susunan yang terdiri dari bagian-bagian-bagian yang salaing berkaiatan dan teratur dan terenscana untuk mencapai tujuan.

3. Susunan negara adalah; juga menyangkut bentuk negara yang ditinjau dari segi susunannya yaitu berupa negara yang tersusun tunggal dan bersusun jamak.

2.6. Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

2.6.1. Bentuk negara.

Konsep negara menurut Nicolo Machiavelli dengan bukunya II Principle artinya sang raja menyatakan bentuk negara bila tidak Republik, maka lainnya Monarchie Nicolo Machiavelli memberikan pendapat awal tentang bentuk negara republik dan Monarchi.

2.6.2 Bentuk Pemerintahan.

Bentuk pemerintahan atau sistem pemerintahan ada Tiga macam

  1. Bentuk pemerintahan dimana adanya hubungan yang erat antara esksekutif dengan Parlamen, Eksekutif dan Parlamen saling tergantung satu dengan yang lainnya. eksekutif yang dipimpin oleh seorang perdana mentri dibentuk oleh parlamen dan partai atau organisasi yang mayoritas di parlamen dalam hal ini rakyat tidak langsung memilih perdana menteri dan kabinetnya tetapi hanya memilih anggota parlamen. dengan terpilihnya parlamen akan terbentuk eksekutif (Kabinet), karena itu pula kabinet bertanggung jawab dan tunduk pada parlamen dan kabinet akan jatuh apabilah dukungan tidak mencapai mayoritas di parlamen. sebaliknya kepalah negara dapat membubarkan parlamen atas permintaan perdana menteri yang disusul dengan penyelenggaraan pemilihan umum. bentuk pemerintahan seperti ini disebut sistem pemerintahan parlamentar.
  2. Bentuk pemerintahan dimana ada pemisahan yang tegas antara badan legislatif (Parlamen dengan Eksekutif dan juga dengan badan Yudikatif. menurut bentuk pemerintahan seperti ini, Presiden sebagai kepalah negara sekaligus menjadi kepalah Eksekutif. Presiden tidak dipilih oleh Parlamen tetapi Presiden beserta Parlamen sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui suatu pemilihan. karena itu Presiden tidak bertanggung jawab kepada Parlamen sehingga Presiden dan kabinetnya tidak dapat dijatuhkan oleh Parlamen sebaliknya Presiden pun tidak bisa membubarkan Parlamen, kedua Lembaga ini melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan Konstitusi, dan berakhir pada masa jabatannya, kecuali mereka di berhentikan karena perbuatan tercelah atau tidak senonoh, misalnya dengan impeachment untuk Presiden bentuk Pemerintahan seperti ini disebut Sistem Pemerintahan Presidensil (Fixed Excecutive).

Sistem presidensil berasil dari amerika serikat, disana diterpakan Asas Trias Politika dari Montesquie dengan sistem check and balance

  1. Bentuk Pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat terhadap badan Legislative (Swiss System)

dalam sistem ini Parlamen tunduk kepada kontrol langsung dari rakyat, kontrol ini dilakukan dengan dua cara;

Ø Referendum adalah; sustu kegiatan politik yang dilakukan oleh rakyat untuk memberikan keputusan setuju atau menolak terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh parlamen setujuh atau tidak terhadap kebijakan yang dimintakan persetujuannya kepada rakyat

Ø Usulan inisistif rakyat; yaitu hak rakayat untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang kepada parlamen dan pemerintah..

2.6.3. Susunan Negara

Negara jika di tinjau dari susunannya akan menimbulkan dua kemungkinan bentuk yaitu;

Ø Kesatuan; ini adalah negara yang berususunan tunggal.

Ø Negera Federasi ini adalah negara yang bersusunan jamak.

Berangkat dari konsep dasar tentang bentuk negara dan pemerintahan di atas, penulis mencoba memilah apakah, pemerintah Timor Leste benar-benar menjalankan konsep negara yang disebut Semi presidensil (Koasi), atau Parlamenter. karena sesuai dengan realitas dan implementasinya menurut hemat penulis ternyata Pemerintah Timor leste cenderung menjalankan sistem parlamenter, ketimbang sistem pemerintahan koasi hal ini dapat kita ketahui dalam implementasi fungsi lembaga-lembaga negara yang ada seperti lembaga Eksekutif/Perdana Menteri, Lembaga Legislatif/Parlamen Lembaga Yudisial dan Lembaga Kepresidenan.

Dalam implementasi fungsi dan kewenangan setiap lembaga negara di Timor Leste yang idealnya dimana masing-masing lembaga negara seperti Parlamen, Eksekutive, Yudikatif dan Lembaga Presiden saling mengontrol satu sama lain (separation of power) untuk menghindari adanya intervensi dan penyalah gunaan kekuasaan dan kewenangan dari setiap lembaga negara antara yang satu dengan yang lain.

Hal ini dapat kita ketahui dalam konsep TRIAS POLITIKA Montesquieu dalam bukunya spirit of laws (tahun 1748), dimana menjelaskan bahwa perlu adanya pemisahan kekuasaan antara Eksekutive legislatif dan yudikatif terutama untuk menjaga agar hak-hak rakyat tidak dilanggar, menumpunya ketiga kekuasaan ini pada satu tangan sangat berbahaya dan dapat menyebabkan inefisiensi, korupsi dan kesewenang-wenangan.

Timor Leste, perlu belajar dari konsep dimaksud hal ini dapat dilakukan apabilah pemimpin negara dan pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga negara yang ada dapat menjalankan kewenangan dan tanggung jawabnya secara maksimal dan sesuai dengan ketentuan dasar atau Konstitusi yang berlaku di Timor Leste.

Sebab dalam kenyataannya bahwa tatanan hukum dan pemerintahan di Timor Leste terlihat masih sangat rapuh (Fragile system) dimana terjadi kepincangan mesin-mesin peradilan dalam melaksanakan fungsi penegakkan hukum dan keadilan, demikian pula lembaga pemerintah dan kepresidenan perlu di benahi sistemnya baik secara administratif maupun perangkat-perangkat normatifnya agar dapat mengikat semua aparatur pemerintah yang ada dan meminimalisir berbagai tindakan atau perbuatan yang dapat memalingkan uang rakyat secara lunak (soft action) demi kepentingan individu maupun kepentingan segelintir elit yang berkuasa.

Dengan demikian apabilah hal-hal yang telah diuraikan dapat di implementasikan secara baik dan efektif serta menghindari perbuatan-perbuatan tercelah dari pihak insider pemerintahan maka konsep tentang pemerintahan yang baik dan bersih (Good and Clean Governance) akan tercapai dengan baik dan dinamis.

2.3.6 4. Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas tentang persoalan yang berkaitan dengan masalah implementasi hukum dan, bagaimana membentuk suatu sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawah penulis mengedepankan beberapa solusi alternatif sesuai dengan konsep tata kelolah pemerintahan dalam negara hukum berdasarkan doktrin Good Governance dengan beberapa elemen sebagai berikut;

  1. elemen keterbukaan (transparancy)
  2. elemen keadilan (justice)
  3. elemen akuntabilitas publik (public accountability)
  4. elemen responsabilitas (responsability)
  5. elemen pemerintahan yang bersih (clean government)
  6. elemen responsifitas (responsiveness)
  7. efektifitas dan eficiency (efectivity and eficiency)
  8. elemen prediktabilitas (predictability)
  9. elemen partisipasi publik (public partisipation)
  10. elemen pendekatan konsensus (consensus approach)
  11. elemen penegakkan hukum (law enforcement)
  12. elemen perlindungan yang sama (equal protection)
  13. elemen penghormatan terhadap prinsip-prinsip etika dan moralitas publik (ethical apprecitaion and public morality)
  14. elemen visi yang strategis (strategic vision)
  15. elemen partisipasi masyarakat (participation)
  16. elemen kompetensi dari pengelolaan pemerintah (cpmpetency)
  17. elemen pendekatan kesejahteraan rakyat (social welfare approach)

Demikian, alternatif yang di tawarkan di atas hendaknya dapat menjawab segala tuntutan seputar persoalan hukum dan bagaimana mengelolah sebuah pemerintahan dengan visi dan misi yang jelas untuk memberikan nilai kesejahteraan pada masyarakat Timor Leste melalui pelaksanaan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawah.

Semoga,.........................!!!!

Daftar Pustaka

  1. Teori negara hukum modern Rechtstaat, Dr. Munir., Fuady SH., MH., LL.M., Refika aditama, tahun 2009, hal 78-79 dan 104
  2. Konstitusi RDTL, Pasal 156
  3. Regulasi Untaet No. 25/1999 Bisa di baca di situs (http//www.regulasiuntaet.org)
  4. Ilmu negara, Prof. H. Abu Daud Busroh, S.H., Bumi Aksara, Tahun 2008, Hal 56-67
  5. Dasar-dasar Sosiologi Hukum “Makna Dialog antara hukum dan Masyarakat, Sabian Utsman., Pustaka Pelajar, tahun 2009, hal 18-19

Selasa, 16 Februari 2010

Evaluasi Studi Perkulihan Semester Ganjil 2009

Rapat Evaluasi T3 Group

A. Informasi Umum
  1. Rapat Ke :II/01/2010
  2. Hari / tanggal :Sabtu
  3. Waktu :17.00-21.00
  4. Tempat : Sekertariat T3 Group Cikawao Dalam II
  5. Jumlah peserta : 10 orang ( Daftar hadir terlampir
  6. Agenda :
    • Evalusasi Kuliah Smst Ganjil 2009/2010
    • Rencana Jadwal Diskusi Tahun 2010
    • Any Others Business
  7. Nama Pimpinan Rapat : Kery
  8. Nama Notulens :Kery

B. Jalannya Rapat :

1 Rapat diawali dengan penyampaian Agenda RApat Evaluasi
2 Rapat dipimpin oleh Kery
3 Selanjutnya rapat dpimpin oleh Kery

C. Pokok pokok pembahasan

Selama rapat berlansung sesuai dengan Agenda Rapat yang telah disepakati maka pokok pembahasan adalah sbb :

  1. Pendapat tiap partisipan dalam rapat tentang Evaluasi Perkulihaan Smst Ganjil
a. Khana
  • Perlu adanya relevansi isu diskusi dengan mata kuliah yang diprogramkan dalam semester berlansung.
  • Perlu adanya penguasaan atau pemhaman teori yang relevan dengan analisa masalah kajian matakuliah baik dalam Ujian UTS maupun UAS.
b. Francelino
  • Bagaimana mengaplikasikan teori dengan bahan kajian atau issu yang dikaji.?
  • Belum bisa membuat konsistensi waktu dalam up to date tugas matakuliah.
  • Mengingat interkasi kita di kelas sangat baik sekali namun, kadang beberapa dari kita belum mampu menempatkan budaya diskusi yang sesusi dengan etika komonikasi yang persuasive.
c. Arsenio
  • Perlu adanya perubahan mentalitas boros waktu di depan Internet yang kurang benefit misalnya waktu dihabiskan hanya FB sedangkan ada prioritas yg perlu dicari dalam Browsing internet.
  • Perlu adanya priortas kegiatan harian selain kuliah di kelas.
d. Inacio
  • Masih kurangnya pemahaman bagaimana membuat klasifikasi tingkat kesulitan atau hambatan dalam memahami isi materi per matakuliah. Bagaimana kita mengatasi persoalan ini.
  • Bagaimana membuat prioritas buku-buku dari Sylabus mata kuliah yg diprogramkan.
e. Nico
  • Selama ini belum memahami apa itu Satuan Acara Perkuliahan
  • Kami perlu mendapatkan share pengalaman dari teman-teman bagaimana proses perkuliahan ideal.
f. Jhon
  • Ketika beriteraksi di kelas ataupun dalam suatu seminar masih terbatasnya penguasaaan atau kemampuan tata bahasa (baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris).
  • Bagaimana mengatasi kendala ini.
g. Olive.
  • Perlu adanya daya kritis dalam diskusi kelas agar proses interaksi kelas dinamis serta mampu menyerap materi yang dipresentasikan oleh Dosen pengajar.
h. Kerytilo
  • Berbicara tantangan dan kelemahan terdapat beberapa hal:
  1. Belum adanya kesadaran pentingnya kualitas dalam proses perkuliahan maupun tujuan akhir dari kuliah.
  2. Mentalitas kekanak-kanakan dalam melihat prioritas belum maximal.
  3. Belum adanya disiplin waktu dan upaya untuk belajar maximal selama menjadi Mahasiswa.

2. Upaya-upaya tindakan strategis untuk meningkatkan kemampuan belajar

Dalam rangka meningkatkan kemampuan belajar pada universitas ada beberapa hal penting yg harus diperhatikan sebagai seorang mahasiswa, antara lain:

a. Kehadiran
  1. Selalu hadir pada setiap Perkuliahan
  2. Datang tepat waktu pada setiap jam perkuliahan
  3. Selalu menginformasikan kepada dosen jika berhalangan hadir dalam kelas.
b. Perkuliahan
  1. Awal Perkuliahan, maksud dan Tujuan perkulihan harus diketahui.
  2. Memahami kriteria penilaian yang diberikan oleh Dosen
  3. Memahami Satuan Acara Perkuliahan (referensi Buku)
  4. Mempersiapkan diri materi berdasarkan SAP
  5. Dalam interaksi kelas Usahakan bertanya berdasarkan relevansi dan Contoh kasus konkrit yang dibahas.
  6. Baca Buku minimal 2 untuk setiap matakuliah
c. Evaluasi
Untuk evaluasi diri harap diperhatikan beberapa hal, antara lain: Berdasarkan Aturan Urgensi; Berdasarkan aturan Kepentingan (penting tidaknya) dan berdarakan periodik

Untuk proses perkuliahan, dihaharapkan membuat prioritas berikut ini:
  1. Usahakan Kerjakan Tugas Mata kuliah on Time
  2. Membuat Pertanyaan-pertanyaan kunci dari pembahasan SAP.
  3. Membuat ringkasan materi per Satuan acara perkulihan
  4. Mempersiapkan diri dan mengukur kemampuan Evaluasi UTS dan UAS

d. Skripsi
• Rencana Judul : Untuk teman-teman yang sedang merencanakan Judul Skripsi bisa didiskusikan dgn teman-teman senior atau yang sudah bebas teori atau Alumni untuk mendapatkan referensi ide.

• Proses Penulisan: Selama masa penulisan Skripsi bisa diprogramkan dalam diskusi T3 Group dengan cara menginformasikan kepada seluruh anggota diskusi T3 group 2 minggu sebelumnya, agar masing-masing anggota mengagendakan prioritas kegiatan individual.

• Referensi Skripsi: Bisa di bantu oleh teman-teman yang memiliki buku atau referensi apapun


3. Guidelines untuk evaluasi Diri: untuk rujukan pengembangan strategi belajar yang lebih efekftif dapat mengunakan referensi ini: Ways to be A Brilliant Leaner oleh Susane Dom penerbit: Bumi Aksara.


D. Kesimpulan dan Tindak lanjut.
Setelah melalui pembahasan yang intensif, maka rapat mengambil kesimpulan dan tindk lanjut sbb:
  1. Perlu adanya upaya kerjasama dan partisipasi aktif dari teman-teman dalam T3 Group untuk saling melengkapi dan membantu dalam peningkatan kemampuan belajar.
  2. Pertemuan berikutnya akan membahas ttg Diskusi English Class dan Metode Penelitian Sosial.

Demikian notulen rapat ini dibuat sebgai acuan pelaksana .

Dibuat oleh
Notulen


(Kerytilo D. Pinto)