Revolusi Timur-Tengah : Langkah Menuju Demokratisasi dan Efek Domino[1]
Oleh: Awang Munawar[2]
(Dosen HI-FISIP UNPAS Bandung)
Assalamu’alaikum wr.wbb.
Gelombang Perubahan
Dalam filsafat telah lama diterima ajaran tentang satu-satunya hukum tetap yang berlaku dalam kehidupan, adalah ‘tidak adanya ketetapan itu sendiri’. Barangkali tidak ada tempat dimana ajaran ini dapat diterapkan lebih nyata daripada kawasan Timur Tengah. Perubahan sebagai variabel tetap dalam kehidupan kawasan tersebut tampak menonjol, dengan segala manifestasinya dalam semua aspek kehidupan dan segenap akibatnya bagi konstelasi percaturan politik dunia.[3]
Pendapat di atas meski sudah lama dan yang bersangkutan sudah almarhum, tapi bagi saya masih memiliki relevansi dengan fenomena mutakhir yang kini sedang terjadi terutama di kawasan Timur Tengah. Manifestasi yang nyata dari tema revolusi yang sedang berlangsung secara menetap ini dapat dilihat dalam dua kenyataan berikut: “fungsi kawasan Timur Tengah dewasa ini sebagai wadah konflik antara negara-negara besar (dulu superpowers) dari luar kawasannya, dan sebagai wadah konflik ideologis antara negara-negara dan bangsa-bangsa yang mendiaminya di kawasan tersebut.
Konflik antara superpowers tampak sekali peranannya dalam sengketa Arab-Israel yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Pada mulanya, sengketa yang terjadi adalah perbenturan kepentingan antara berbagai pihak, yaitu Inggris, Perancis dan Uni Soviet segera setelah usainya PD II, dan sepuluh tahun kemudian Amerika Serikat mengambil pimpinan dunia Barat (yang untuk kawasan Timur Tengah merupakan dari kegagalan Inggris-Perancis untuk menundukan Gamal Abdel Nasser dalam Perang Suez di tahun 1956).
Campur tangan superpowers dalam sengketa Arab-Israel itu tidak hanya membawa akibat-akibat “praktis-operatif” belaka dan sesa’at, tetapi membawa akibat-akibat yang lebih bersifat fundamental dan terus berkelanjutan bagi kehidupan di kawasan Timur Tengah sampai hari ini.
Di samping konflik antara superpowers dalam memperebutkan hegemoni di kawasan Timur Tengah, perkembangan di kawasan tersebut di ramaikan juga oleh pertentangan ideologis diantara nasionalisme, marxisme dan monarki absolut. Perkembangan ini muncul dan mewarnai perkembangan masa kini, yaitu konfrontasi kesemua ideologi di atas dengan fundamentalisme Islam, baik secara terselubung seperti di Tunisia, Mesir dan Irak, maupun secara terbuka seperti di Iran.
Dari perkembangan ini pun penggandaan akibat (multiplier effects) jelas sekali mempunyai pengaruhnya tersendiri bagi perkembangan keadaan keseluruhan di kawasan tersebut hingga kini, dan ini adalah salah satu unsur utama dari pergolakan/revolusi menetap yang terjadi di sana.
Kini, kita menyaksikan bagaimana perkembangan terakhir dimana badai demonstrasi yang tengah menyapu kawasan tersebut, yakni gejolak/revolusi kekuatan rakyat terus berlanjut di wilayah tersebut setelah tumbangnya kekuasaan otoritarianisme Presiden Ben Ali di Tunisia dan Presiden Mubarak di Mesir, dan kini juga kita sedang menyaksikan tekanan-tekanan rakyat di Libya yang juga ingin melengserkan Moammar Khadafy.
Seperti, seakan-akan terilhami oleh keberhasilan revolusi rakyat di kedua negara itu, kini eskalasi kekuatan massa kian meningkat di sejumlah negara Arab, khususnya di Libya, Yaman, dan Bahrain. Ekspresi gejolak kekuatan rakyat juga muncul getarannya di Aljazair, Maroko, Jordania, dan Kuwait, meski belum terlihat jelas di Arab Saudi, atau Uni Emirat Arab.[4]
Di negara-negara tersebut, unjuk rasa, protes dan tekanan- tekanan politik demokratik sedang berlangsung mendesakkan perubahan. Unjuk rasa di Mesir yang bersamaan dengan perubahan politik di Tunisia beberapa waktu lalu merupakan trigger (pemicu) yang berkelanjutan dari desakan untuk terjadinya perubahan di segala hal sekaligus pergantian kepemimpinan.
Gerakan perlawanan rakyat (people power) di Tunisia yang berhasil secara dramatis menjatuhkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali dan bahkan membuat dia melarikan diri ke Arab Saudi mempunyai resonansi dan reperkusi politik yang sangat besar terhadap Dunia Arab dan Timur Tengah bahkan ke negara-negara yang anti-demokrasi lainnya, seperti Korea Utara ( baca :domino effects).
Sangat meyakinkan revolusi rakyat Tunisia itu akan membawa efek karambol terhadap negara-negara Arab yang sebagian besar masih otoriter atau antidemokrasi, untuk tidak menyatakannya sebagai despotik atau diktatorial.[5]
Menurut Ibnu Burdah[6] ada beberapa tesis yang mungkin bisa menjelaskan mengapa terjadi revolusi di kawasan tersebut. Pertama, salah satu tesis penyebab revolusi adalah kemiskinan. Jika itu yang digunakan menurutnya, negara-negara Teluk petrodollar, seperti Keemiran Kuwait, Keemiran Bahrain, Keemiran Qatar, Uni Emirat Arab, Kerajaan Arab Saudi, dan Kesultanan Oman, akan selamat dari gulungan badai ini. Jumlah penduduk yang kecil dan penghasilan minyak yang besar membuat pendapatan per kapita penduduk negara-negara itu sangat tinggi, bahkan beberapa kali lipat dari pendapatan per kapita rakyat Tunisia dan Mesir.
Yang kedua, masih menurut Burdah, revolusi juga bisa lahir karena represi yang begitu kuat dari rezim despotik terhadap kebebasan warganya. Kalau begitu, enam negara itu justru paling potensial menghadapi masalah serius. Oman telah terindikasi terjangkit virus revolusi itu. Juga Bahrain. Padahal, negeri itu dipandang sebagai kerajaan paling mapan dan stabil di Teluk Persia. Kecemasan luar biasa yang ditunjukkan para penguasa Kerajaan Arab Saudi juga mencerminkan gejala yang sama. Ini juga berarti negara-negara Arab barat (maghrib), seperti Libya, Aljazair, dan Mauritania, merupakan negara yang paling rawan menjadi tempat pecahnya revolusi pasca-Tunisia dan Mesir. Bahkan rezim Raja Muhammad VI di Maroko, yang dikenal sangat berwibawa, juga tidak lepas dari ancaman ini.
Menurut Burdah, Libya barangkali di urutan terdepan. Rezim Moammar Khadafy berkuasa sejak 1969, jauh lebih lama daripada Mubarak dan Ben Ali. Posisi geografis dan kultural negeri ini juga berada di dekat baik Mesir maupun Tunisia. Rezim ini sekalipun keras, tapi dikenal lemah, baik dalam konsolidasi dalam negeri, kerja sama kawasan, maupun pergaulan internasional.
Faktor penting lain adalah keangkuhan sang penguasa, hal ini menunjuk pada Moammar Khadafy, serta dukungannya terhadap Ben Ali dan Mubarak untuk tidak mengikuti tuntutan rakyatnya. Hal itu bisa memancing semangat rakyatnya untuk melakukan hal yang serupa dengan di Mesir dan Tunisia.
Mauritania dan Aljazair jelas sedang terjangkit virus revolusi ini. Aksi membakar diri sebagai protes atas kondisi ekonomi sudah terjadi dan secara terbatas telah menyulut protes jalanan di dua negeri itu hingga saat ini.
Sementara itu, menurut Azyumardi Azra,[7] dengan banyak mensitir pandangan dari kalangan dunia muslim yang beranggapan bahwa, gejolak kekuatan rakyat di dunia Arab sekarang ini merupakan rekayasa pihak asing, khususnya Amerika Serikat (AS). Argumen ini menurut Azra, bisa diperdebatkan. Namun jelas, rezim-rezim otoriter yang kini menghadapi tantangan kekuatan rakyat adalah para sekutu AS. Karena itu, pada dasarnya AS berkepentingan memelihara status quo rezim-rezim tersebut. Namun, berlawanan dengan keinginan AS tersebut, kekuatan rakyat membuat AS berada dalam posisi sulit dan akhirnya terpaksa menerima perubahan rezim seperti terlihat dalam kasus Tunisia dan Mesir.
Sungguh dramatis! Kejatuhan pemimpin tangan besi yang berkuasa sangat lama, Zine al-Abidine Ben Ali, malah memicu kecemasan dibandingkan antusiasme para pemimpin dunia.[8]
Menurut M Steven Fish,[9] jatuhnya tirani di Tunisia mungkin tidak secara otomatis mengarah pada fase demokrasi, tetapi rakyat Tunisia memiliki kesempatan dan menyediakan ruang pertaruhan bagi kemungkinan proses demokrasi dan keamanan global dibandingkan apa yang telah dilakukan oleh para diktator pro-Barat. Menurutnya, di ufuk drama politik yang terhampar di Tunisia dan negara- negara tetangganya, dunia memiliki harapan yang lebih baik dibandingkan skenario ketakutan (baca: kecemasan Barat).
Seperti kita ketahui bersama, Dunia Arab, bagian terpenting dari apa yang disebut sebagai Dunia Islam, kecuali mungkin Lebanon dan Irak, bukanlah negara-negara demokrasi. Itulah sebabnya mengapa kalangan sarjana Barat, yang dari sananya berpandangan stereotipikal, selalu memandang bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Kalau tidak diselamatkan oleh kasus demokratisasi yang gemilang di Indonesia dan Turki, pandangan stereotipikal negatif itu pastilah akan memperoleh justifikasi yang sangat ampuh.[10]
Masih menurut Hariyanto, proses demokratisasi sebenarnya bukannya tidak berjalan di Dunia Arab. Namun, perjalanannya sedemikian lamban dan panjang. Beberapa negara Arab, baik yang berbentuk kerajaan maupun republik, memang mulai menyelenggarakan pemilihan umum secara terbatas dan memiliki parlemen. Kebebasan mulai dibuka secara perlahan. Akan tetapi, dari sudut pandang demokrasi yang universal masih sedemikian limitatifnya sehingga belum bisa dikatakan sebagai telah cukup demokratis.
Dalam konteks ini, revolusi rakyat Tunisia 2011 ini, termasuk Mesir niscaya membawa angin segar bagi demokrasi Dunia Arab, dan membawa pengaruh positif bagi gerakan-gerakan demokrasi di dunia Arab lainnya yang membentang dari Maroko di barat sampai Irak di timur.
Meski revolusi Tunisia dikotori oleh tindak penjarahan yang menodai demokrasi. Tak heran jika noda tersebut kemudian dijadikan dalih oleh para pemimpin otoriter di negara-negara Arab untuk menunjukkan kepada rakyatnya ada apa dengan demokrasi. Dalam hal ini penting dipertanyakan juga pada mereka, ”apakah kita mau demokrasi yang rusuh dan kaotis ?.
Bagaimanapun ada kekurangan dalam demokratisasi tersebut, kita berharap revolusi Tunisia atau Mesir termasuk kini yang terjadi di Libya menjadi bahan pelajaran bagi para pemimpin negara-negara Arab. Pilihan bagi mereka bukanlah demokrasi atau tidak, melainkan proses demokratisasi seperti apa yang harus segera mulai dilakukan. Apakah harus menunggu meledaknya sebuah revolusi yang berindikasi pada kerusuhan dan kaotis atau memilih jalan sadar dan sistematis untuk memulai proses demokrasi secara sengaja. Apa pun pilihannya, hendaknya mereka mewaspadai ongkos sosial dan politik yang harus dibayar dan kelewat mahal manakala cara revolusi ditempuh.
Menarik untuk disimak cerita Fareed Zakaria dalam bukunya, The Future of Freedom (2003), yang menceritakan sebuah anekdot demokrasi di Mesir. Suatu ketika seorang diplomat Amerika Serikat diterima bertemu Presiden Hosni Mubarak di istana Heliopolis yang megah. Kedua tokoh politik itu berbicara dengan akrab dan nyaman tentang kehangatan hubungan kedua negara, permasalahan regional, dan proses perdamaian Israel-Palestina.
Selanjutnya, diplomat Amerika Serikat perlahan-lahan mengangkat permasalahan hak asasi manusia (HAM) dan menyarankan agar Presiden Mubarak memberi kelonggaran-kelonggaran terhadap oposisi politik dalam rangka demokrasi dan kebebasan pers serta berhenti memenjarakan para intelektual dan aktivis demokrasi.
Presiden Mubarak menjadi tegang dan marah. Sembari menggebrak meja keras-keras, ia meradang, " Jika saya melakukan apa yang Anda minta itu, fundamentalisme Islam akan mengambil alih Mesir. Inikah yang Anda inginkan?” Diplomat Amerika Serikat itu kecut dan mengajak kembali ke pembicaraan semula yang penuh basa-basi itu.
Dari cerita anekdot demokrasi tersebut di atas, kita perlu merenung dan memaknai apa itu demokrasi yang sesungguhnya ?
Transisi Politik Demokrasi Mesir : Sebuah Refleksi dan Akseptasi
Presiden Husni Mubarak termasuk salah satu pemimpin pemerintahan terlama di Timur Tengah disamping Saddam Hussein, Muammar Khadafy dan Hafez Assad, kini ia sulit mengelak dari tekanan-tekanan rakyat yang menginginkan pembangunan politik demokratis menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat tersebut.
Unjuk rasa, protes dan tekanan-tekanan politik secara umum dipicu oleh pengangguran, kemiskinan atau kondisi ekonomi yang memprihatinkan, disamping sistem politik yang despotik (kekuasaan tanpa batas, kuku besi dan lalim), serta bisa saja muncul dari pandangan bahwa karena intervensi asing (AS atau dunia Barat).
Kejadian-kejadian amat penting di kawasan Timur Tengah dan Afrika serta dunia Arab baru-baru ini menunjukkan status quo tidak bisa langgeng, dan perlu ada prakarsa dan keberanian dalam upaya perubahan-perubahan signifikan dan kalau perlu ke seluruh kawasan dimana terdapat pemimpin despotik tersebut.
Belasan ribu pengunjuk rasa terus membanjiri Lapangan Tahrir (atau pembebasan) di Mesir, selama dua minggu berturut-turut dan membentuk demonstrasi besar-besaran untuk menuntut mundurnya Presiden Hosni Mubarak. Meski secara umum, unjuk rasa ini berlangsung damai, kekerasan tetap mewarnai demonstrasi yang terjadi. Para pengunjuk rasa pro-pemerintah – yang kabarnya sengaja dikerahkan oleh negara – telah melemparkan batu dan bom molotov, dan menggunakan pentungan untuk memukul para wartawan dan aktivis pro-demokrasi di Lapangan Tahrir.
Revolusi di Mesir telah menyatukan banyak orang: warga mencoba mencari jalan untuk menyediakan uluran tangan bagi lingkungan sekitar, orang-orang dari agama berbeda berbaris bersama-sama, dan para aktivis internasional menggemakan suara rakyat Mesir.
Meskipun masa depan Mesir belum menentu, cerita-cerita ini menunjukkan bahwa ada potensi untuk membangun negara yang lebih kuat dari bawah, dengan pilar demokrasi.
Walau ada kekacauan di jalan-jalan, warga Kairo dan kota lain telah membentuk kelompok-kelompok untuk menjaga ketersediaan listrik, air dan gas. Posko-posko lingkungan juga telah bermunculan di tengah ketidakhadiran polisi untuk mengamankan tempat tinggal dan tempat usaha mereka dari penjarah.
Khalid Toufik, seorang anggota posko di Alexandria, mengatakan dalam sebuah tulisan di New York Times, “Kami ingin menunjukkan pada dunia bahwa kami bisa menjaga negara kami, dan kami tengah melakukannya tanpa bantuan pemerintah ataupun polisi.”
Di Lapangan Tahrir, kerumunan orang bersorak, “Muslim, Kristen, kita semua orang Mesir!” Kaos-kaos yang bertuliskan berbagai slogan unjuk rasa juga menampakkan bulan sabit dan salib sebagai simbol persatuan. Bahkan ada berita-berita tentang orang-orang Kristen yang membentuk pagar manusia untuk melindungi Muslim yang tengah melaksanakan salat.
Perempuan pun ikut berunjuk rasa bersama laki-laki, anak-anak muda bersama orang-orang tua. Rakyat Mesir ingin memperlihatkan bahwa koeksistensi agama, suku dan simbol-simbol pluralisme bukan sekadar angan-angan semu, tapi telah kerap menjadi kenyataan sehari-hari.
Di tingkat internasional, berbagai orang, kelompok, maupun perusahaan telah menemukan cara untuk menunjukkan solidaritas dan membawa suara rakyat Mesir ke seluruh dunia. Google dan Twitter bersama-sama menciptakan Speak2Tweet selama diblokirnya akses internet. Aplikasi ini memungkinkan orang Mesir menelepon salah satu dari tiga nomor telepon yang disediakan untuk merekam sebuah pesan, yang kemudian dapat di-“tweet” oleh akun Speak2Tweet yang bisa dilihat di seluruh dunia, dan diterjemahkan di situs lain, Alive in Egypt.[11]
Perangkat-perangkat seperti ini telah membantu orang di berbagai tempat nan jauh untuk memberi sumbangan pada perjuangan dan kenyataan sehari-hari rakyat Mesir, selain juga memberikan kabar dari lapangan secara langsung.
Memang, Mesir memiliki karakteristik berbeda apabila dibanding dengan negara lainnya di kawasan, termasuk dengan Indonesia pada tahun 1998. Sejak 1981 ketika Mubarak menggantikan Presiden Anwar Sadat yang dibunuh salah seorang tentaranya, sama sekali tidak ada perubahan politik signifikan. Namun umur Mubarak yang sudah lebih dari 80 tahun tidak bisa dipertahankan lagi. Kini apabila terjadi perubahan akan berpengaruh signifikan terhadap kawasan tersebut. Gemanya jauh lebih besar dari Tunisia yang berpenduduk hampir 80 juta. Mesir dengan jumlah penduduk terbesar di Timur Tengah serta kekuatan politik yang besar di kawasan maka perubahan di Mesir menjadi perhatian tidak hanya tetangganya tetapi juga dunia.
Kita tahu bahwa, sudah 30 tahun ini rakyat Mesir hanya menyaksikan satu presiden, satu foto di perkantoran tanpa adanya perubahan. Kekuasaan eksekutif dikendalikan sampai sedetilnya oleh rejim Mubarak sehingga stabilitas relatif jalan. Dan tingkat tertentu ekonomi bisa memberikan ketenangan, namun situasi dunia sudah berubah. Tekanan krisis finansial di Barat berimbas terhadap harga-harga di dalam negeri yang tidak bisa ditenangkan oleh hanya retorika.
Sementara itu pemerintahan sedang hamil tua yang menunggu regenerasi sejati bukan sebuah peralihan kekuasaan dari ayah kepada anak atau kepada kelompok nepotisme yang menyelamatkan rejim lebih lama dengan mengorbankan demokrasi dan kemakmuran.
Transisi tidak akan mudah karena sebagai orang kuat Mubarak tidak bisa ditiru begitu saja oleh anaknya. Mubarak memiliki pengalaman politik yang sangat luas untuk menekan oposisi sekuat mungkin dan bila perlu dengan kekerasan. Segala instrumen hukum dan politik juga dikerahkan dengan tujuan melanggengkan kekuasaan dirinya dan memberangus semua kekuatan oposisi baik dari kubu sekuler maupun Islam.
Presiden baru yang lemah akan memperumit situasi Mesir karena tekanan dari dalam dan luar semakin besar. Dari dalam negeri tuntutan perbaikan situasi politik dan ekonomi akan sulit dipenuhi presiden baru manakala kotak pandora kebebasan berekspresi – seperti sekarang.
Bagaimanapun besarnya dukungan Mubarak namun ketika tampuk kekuasaan bisa sepenuhnya ditranfer ke anaknya, tidak mudah diambil lagi. Diperlukan beberapa tahun untuk benar-benar pemerintahan baru efektif padahal kondisi masyarakat yang semakin terbuka akan sulit menunggu angin segar demokrasi dimana kalangan tertekan bisa menjadi alternatif. Atau setidaknya mereka yang menjadi tokoh dan intelektual bisa tampil melakukan reformasi.
Apalagi sekarang muncul tokoh seperti Mohamad El Baradei sebagai alternatif dari Mubarak. Baradei sudah memberikan sinyal melakukan oposisi terhadap Mubarak sejak tidak lagi menjadi kepala badan energi atom internasional (IAEA) dan dipandang calon alternatif. Selain itu ada tokoh dan partai lain seperti Ikhwanul Muslimin yang meski ditekan masih tetap hidup di dalam infrastruktur masyarakat.[12]
Dari uraian di atas, bagaimana kita reflesi ke 1998 serta berproyeksi ke depan, tentu kejadian ini harus jadi pelajaran.
Peran Cyberworld dalam revolusi di Timur Tengah[13]
Selanjutnya, tidak dapat dibantah lagi bahwa twitter dan facebook menjadi alat hubung yang menyatukan hati dan kemauan banyak orang di Tunisia dan Mesir, termasuk di luar kawasan tersebut. Jaringan internet dan telepon genggam memainkan peran penting dalam revolusi damai sejak 25 Januari dan berakhir 11 Februari 2011.
Inilah yang memberikan semangat dalam satu hati menuju perubahan di Mesir. Sesudah 32 tahun di bawah bayangan Husni Mubarak dan tidak ada wajah dan masa depan selain bersama Husni Mubarak, rakyat Mesir setidaknya kaum muda yang melek mulai merasa akan adanya perubahan itu kuat. Teknologi dan melek twitter dan facebook menginginkan perubahan yang lebih bermakna dalam demokrasi.
Demokrasi Mesir yang sifatnya semu dan khayalan itu kemudian karena kemauan sekelompok anak muda yang semula mendorong perbaikan nasib para pekerja pabrik pada Januari 2010 di sebuah daerah di luar Cairo, kemudian berubah menjadi gerakan nasional menuju perubahan nasib.
Perubahan dan reformasi, itulah kata kunci yang bergulir sehingga kemudian Mubarak terguling. Mubarak yang perkasa dan berpengalaman dan menjadi diktator militer selama 32 tahun akhirnya terjungkal. Mubarak yang tidak sadar bahwa umur tidak bisa dihentikan tetapi perubahan terus berjalan. Akhirnya dia ditelan oleh impian dan ilusinya sendiri.
Mesir yang 32 tahun dan bahkan lebih lama lagi hidup dalam keadaan darurat perang sungguh mengenaskan. Di abad ke-21 ini masih ada yang mempertahankan keadaan darurat perang padahal tembok itu sudah bisa ditembus oleh jaringan internet yang tidak hanya di cafe tetapi sudah berada di genggaman tangan.
Ponsel cerdas berubah menjadi alat perubahan dan musuh bagi para diktator. Musuh penguasa yang bersembunyi di balik stabilitas untuk melestarikan priviligenya. Inilah yang kemudian runtuh oleh palu godam komunikasi bahkan ujung tombaknya adalah facebook dan twitter.
Masihkah militer Mesir mengabaikan fakta bahwa ancaman itu tidak datang dari apa yang disebut kubu oposisi terkuat Ihkwanul Muslimin saja. Lebih lagi adalah kaum muda yang haus akan keadilan dan demokrasi sehingga mereka hidup dalam alam nyata bukan dalam kungkungan diktator atau rejim militer.
Dapat dikatakan bahwa dunia cyber inilah yang meluluhlantakkan setidaknya dua diktator di Timur Tengah, Presiden Ben Ali dan Presiden Husni Mubarak. Keduanya berjasa bagi negaranya tetapi menolak mengadakan perubahan. Maka karena menolak perubahan, keduanya digilas oleh revolusi komunikasi yang menjadi tulang punggung bahkan bisnis dan kehidupan modern.
Maka jika militer masih berusaha menggunakan hukum besi untuk menolak kehadiran demokrasi maya kaum muda, maka dia pun akan tergilas menjadi lembaga pelindung yang tidak relevan lagi. Sudah saatnya bahwa kekuatan demokrasi ini tidak hanya di dalam maya tetapi sudah sampai alam nyata.
Itulah impian kaum muda di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan bahkan Bahrain yang notabene sudah maju dibandingkan negara Arab lainnya.
Berikutnya yang perlu dicermati adalah perubahan yang mungkin terjadi di Arab Saudi. Meski Raja masih sakral dan keluarga kerajaan memiliki kekuatan luar biasa namun jika sekelilingnya sudah membuka diri terhadap revolusi damai demokrasi maya ini maka mau tidak mau tinggal menunggu saja, ikut membuka keran informasi atau tetap hidup dalam penjara maya seperti juga dialami di Cina. Saya yakin efek domino akan menemuinya, karena aspek bordenless world.
Seandainya saja era cyberworld masuk ke Indonesia pada tahun 1998, mungkin derajat kekerasan dapat diminimalisir.
Wassalam wr.wbb.
[1] Judul makalah dari Panitia Seminar HIMHI Fisip Unpas, diseminarkan tgl 16 Maret 2011.
[2] Awang Munawar, Dosen HI Fisip Unpas Bandung
[3] Abdurrachman Wahid (Gus Dur), “Timur Tengah: Panorama Pergolakan Tak Kunjung Berhenti” dalam Prisma No. Ekstra. 1978.
[4] Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat International IDEA Stockholm, artikelnya di Komapas, 25 Pebruari 2011 berjudul “Anatomi Krisis Libya, Yaman, Bahrain”.
[5] Hajriyanto Y Thohari, Sarjana Studi Asia Barat/Arab UGM dan Pascasarjana Antropologi UI, dalam artikelnya di Kompas, 26 Januari 2011 berjudul “Tunisia, Dunia Arab dan Demokrasi”.
[6] Ibnu Burdah, adalah pemerhati Persoalan Timur Tengah dan Dunia Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam artikelnya di Kompas, 17 Pebruari 2011 berjudul “ Survival Rezim di Arab”.
[7] Azyumardi Azra, dalam ibid, baca juga Azra dalam artikel Kompas, 1 Pebruari 2011 dengan judul “Krisis Mesir: Militer vs Sipil ?
[8] M Steven Fish Profesor Ilmu Politik di Universitas California-Berkeley dan Penulis Are Muslim Distinctive? A Look at the Evidence (Oxford University Press, 2011. Lihat juga tulisan artikelnya di Kompas,1 Pebruari 2011 dengan judul “Kaum Muslim, Tunisia, dan Paradoks Demokrasi”.
[9] M. Steven Fish, dalam Ibid
[10] Hajriyanto Y Thohari, dalam ibid,
[11] Laurna Strikwerda ialah koordinator program dialog Muslim-Barat di organisasi transformasi konflik Search for Common Ground.
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 11 Februari 2011,www.commongroundnews.org
[12] Simak pernyataan dari Amr Hamzawy dari Carnegie Middle East Center menyatakan bahwa terlalu dini memperkirakan akan adanya perubahan politik. Keraguan itu antara lain mereka yang turun ke jalan adalah kalangan muda yang mengorganisasikan diri tetapi tidak tersambung dengan partai atau kelompok oposisi. Sementara itu, Steven Cook dari Council on Foreign Relations memperkirakan adanya dua skenario dari rentetan gejolak politik yang menuju puncaknya di Mesir. Pertama, mandat kepresidenan mungkin saja berhasil diserahkan ke Jamal namun kemungkinan dia tidak mampu memikul kekuasaan yang dilama dipegang ayahnya. Skenario kedua jika gejolak ini terus berlanjut adalah kemungkinan militer akan melakukan pengambilalihan kekuasaan jika transisi kepada Jamal atau pemimpin politik lain yang pro Mubarak gagal menenangkan rakyat.
[13] Disarikan dan diolah dari berbagai ulasan Kantor Berita Common Ground (CGNews), 11 Maret 2011.